Apa yang terbaik orangtua dapat lakukan untuk bisa membuat perubahan dalam diri anaknya?
Akhirnya ditemukan dalam sebuah kalimat yang pernah diucapkan seorang pemimpin perubahan besar, yaitu Mahatma Gandhi: “Be the change that you want to see in the world.”
Cuplikan kehidupan Gandhi yang senada dengan apa yang dia katakan:
Suatu hari, seorang ibu membawa anaknya datang kepada Gandhi dan berkata, “Gandhi, maukah engkau menasihati anak saya ini? Dia mempunyai sebuah penyakit yang untuk kesembuhannya tidak boleh mengonsumsi garam. Tolong beri nasihat kepadanya untuk tidak makan garam. Saya dan keluarga, bahkan dokternya sudah berulang kali menasihati. Namun dia masih tetap makan garam. Saya sudah kehabisan kata-kata, tolonglah saya, siapa tahu dia akan menurutimu.”
Dengan tersenyum dan suara lembut Gandhi berkata, “Ibu, sekarang saya tidak bisa berkata apa-apa, silakan Ibu pulang dan bawa anak Ibu ke sini minggu depan.”
“Gandhi,“ kata ibu itu, “Anak saya di depanmu, tidak bisakah kamu sekarang menasihatinya?” Gandhi dengan senyum yang selalu di bibirnya hanya menggelengkan kepala yang menandakan tidak. Dengan perasaan campur aduk, ibu itu pulang.
Tepat satu minggu mereka berdua ada di hadapan Gandhi. “Saya sudah menunggu satu minggu, “kata ibu kepada Gandhi, “Sekarang berikan nasihat itu. “Kemudian Gandhi datang mendekat ke anak itu, dan menasihatinya untuk tidak makan garam. Apa yang dikatakan Gandhi tidaklah istimewa, tidak ada sesuatu yang baru, hanya sebuah nasihat yang sederhana, tidak lebih.
Pada saat itu sang Ibu merasa kecewa karena dalam penantiannya satu minggu dia berharap Gandhi akan melakukan sesuatu yang luar biasa. Tidak lama kemudian, Gandhi meminta ibu dan anak itu pulang.
Kali ini perasaan ragu-ragu menyelimuti si Ibu. Ia tidak yakin ini akan berhasil, namun yang terjadi sebaliknya. Anak ini berhenti makan garam. Ibunya berpikir mungkin ini hanya akan terjadi satu atau dua hari. Tetapi, ternyata lebih dari itu. Anak tersebut total berhenti makan garam selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Didorong rasa penasaran yang tinggi, seorang diri ibu ini menghadap Gandhi untuk ketiga kalinya dan langsung bertanya: “Gandhi, rahasia apa yang kamu miliki sehingga bisa membuat anak saya berhenti makan garam?” tanya si ibu. “Kata-kata yang kamu ucapkan adalah kata-kata biasa, saya sering menasihatinya dengan cara yang sama. Menurut saya, dokternya menasihati dengan cara yang lebih baik. Tetapi mengapa anak saya menurut kepadamu?”
Dengan lembut Gandhi menjawab pertanyaan ibu ini dengan jawaban: “Ibu masih ingat pada kali pertama ke sini dan saya meminta ibu datang satu minggu kemudian?”
“Ya itu dia, kenapa, terus terang saya masih penasaran?” sahut ibu dengan cepat.
“Pada saat itu saya belum bisa menasihati anak Ibu untuk tidak makan garam, karena pada saat itu saya masih mengonsumsinya. Setelah Ibu pulang, saya berhenti makan garam. Sampai kemudian ibu datang lagi, baru saya bisa berbicara untuk tidak makan garam ke anak ibu.”
Itulah kualitas seorang Gandhi. Dia hanya berbicara apa yang telah dilakukan saja, dalam istilah bahasa Inggris disebut walk the talk. Ternyata kekuatan komunikasi terbesar terletak pada hal yang tidak terlihat sama sekali, yaitu sebuah kejujuran dalam berpikir, bertindak, dan perkataan yang keluar sesuai dengan apa yang telah dikerjakan.
Kalau kita lihat sosok manusia yang diberi gelar Mahatma ini, sangatlah tidak meyakinkan. Postur tubuh kecil, berambut jarang, suara lembut, gayanya yang tenang dan kalem terkesan lemah. Namun demikian, ketika dia bicara, tidak kurang dari 400 juta rakyat India mendengar dan melakukan apa yang dia minta. Gandhi bukanlah seorang penguasa, tidak mempunyai senjata ataupun pangkat yang bisa mengancam atau menakut-nakuti orang lain. Kekuatan Gandhi berasal dari dalam, dari integritas walk the talk yang dilakoni selama hidupnya.
Orangtua, mari kita berdoa terlebih dulu jika ingin melihat anak kita berdoa. Bertingkah laku sopan ter-lebih dulu jika ingin melihat anak kita bertingkah laku yang sama. Bangun pagi terlebih dulu jika ingin anak kita bangun pagi. Sekali lagi, walk the talk.
Rabu, 29 September 2010
Sabtu, 25 September 2010
Kamis, 23 September 2010
Rabu, 22 September 2010
Mendidik Tanpa Kekerasan
Ada sebuah cara mendidik anak diajarkan melalui kisah hidup berikut ini:
Saat berusia 16 tahun, saya tinggal bersama orangtua di sebuah lembaga milik kakek. Tanpa tetangga, 18 mil jauh di pedalaman kota Durban, Afrika Selatan. Pergi ke kota, berkunjung ke rumah teman atau menonton bioskop menjadi hal yang menyenangkan.
Satu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkannya ke kota menghadiri konferennsi. Tentu kesempatan ini tak akan saya lewatkan. Tahu bahwa akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Sambil menunggu, ayah juga meminta untuk memperbaiki mobil di bengkel.
Setiba di tempat konferennsi, ayah berkata, “Ayah tunggu kamu di sini jam 5 sore, lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.” Setelah menyelesaikan berbagai titipan pekerjaan, terpikir oleh saya untuk pergi ke bioskop.
Aksi film yang mengasikkan membuat saya lupa waktu. Begitu melihat jam menunjuk pk. 17.30, saya langsung berlari menuju bengkel mobil dan buru-buru menjemput ayah yang sudah menunggu. Saat itu sudah hampir pk. 18.00.
Ayah tampak gelisah menanyai saya, “Kenapa kamu terlambat?” Malu mengakui menonton bioskop, saya menjawab, ”Tadi mobilnya belum siap, saya harus menunggu.”
Tanpa diduga, ayah menelepon bengkel mobil sehingga tahu kebohongan saya. Lalu ayah berkata, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkanmu sehingga kamu tidak punya keberanian untuk menceritakan kebenaraan pada ayah. Ini sepenuhnya kesalahan ayah, biarkan ayah pulang berjalan kaki dan memikirkannya baik-baik.”
Ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah padahal hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Tidak bisa meninggalkan ayah di jalanan seperti itu, lima setengah jam saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialaminya hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Berpikir mengenai kejadian tersebut, saya merasa heran. Andaikan ayah menghukum sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan? Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, menyadarinya sedikit, dan akan melakukan hal yang sama lagi. Hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, saya merasa kejadian itu seolah baru terjadi kemarin, tertanam kuat dalam pikiran, membuat sadar dan tidak akan pernah mau mengulanginya lagi. Itulah kekuatan mendidik tanpa kekerasan, sebuah pola pendidikan yang sangat efektif.
Dicuplik dari ceramah Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi di Universitas Puerto Rico.
Saat berusia 16 tahun, saya tinggal bersama orangtua di sebuah lembaga milik kakek. Tanpa tetangga, 18 mil jauh di pedalaman kota Durban, Afrika Selatan. Pergi ke kota, berkunjung ke rumah teman atau menonton bioskop menjadi hal yang menyenangkan.
Satu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkannya ke kota menghadiri konferennsi. Tentu kesempatan ini tak akan saya lewatkan. Tahu bahwa akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Sambil menunggu, ayah juga meminta untuk memperbaiki mobil di bengkel.
Setiba di tempat konferennsi, ayah berkata, “Ayah tunggu kamu di sini jam 5 sore, lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.” Setelah menyelesaikan berbagai titipan pekerjaan, terpikir oleh saya untuk pergi ke bioskop.
Aksi film yang mengasikkan membuat saya lupa waktu. Begitu melihat jam menunjuk pk. 17.30, saya langsung berlari menuju bengkel mobil dan buru-buru menjemput ayah yang sudah menunggu. Saat itu sudah hampir pk. 18.00.
Ayah tampak gelisah menanyai saya, “Kenapa kamu terlambat?” Malu mengakui menonton bioskop, saya menjawab, ”Tadi mobilnya belum siap, saya harus menunggu.”
Tanpa diduga, ayah menelepon bengkel mobil sehingga tahu kebohongan saya. Lalu ayah berkata, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkanmu sehingga kamu tidak punya keberanian untuk menceritakan kebenaraan pada ayah. Ini sepenuhnya kesalahan ayah, biarkan ayah pulang berjalan kaki dan memikirkannya baik-baik.”
Ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah padahal hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Tidak bisa meninggalkan ayah di jalanan seperti itu, lima setengah jam saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialaminya hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Berpikir mengenai kejadian tersebut, saya merasa heran. Andaikan ayah menghukum sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan? Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, menyadarinya sedikit, dan akan melakukan hal yang sama lagi. Hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, saya merasa kejadian itu seolah baru terjadi kemarin, tertanam kuat dalam pikiran, membuat sadar dan tidak akan pernah mau mengulanginya lagi. Itulah kekuatan mendidik tanpa kekerasan, sebuah pola pendidikan yang sangat efektif.
Dicuplik dari ceramah Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi di Universitas Puerto Rico.
Selasa, 21 September 2010
Play is Back
Tidak heran orangtua dan pendidik jaman sekarang merasa lelah. Kita terperangkap dalam asumsi yang keliru. Kita diberitahu bahwa “lebih cepat itu lebih baik” dalam membesarkan dan mendidik anak. Kita harus mendorong anak untuk terus belajar seperti sedang berada dalam sebuah arena kompetisi yang tak pernah usai. Kita diberitahu bahwa setiap menit dari kehidupan anak harus diisi oleh hal-hal yang “bermakna”, seperti, memberikan musik klasik pada bayi dalam kandungan, memberikan flash cards kepada anak usia belum genap satu tahun, membelikan mainan edukasi semata enggan memberikan mainan sungguhan. Semua dilakukan orangtua agar anaknya memiliki kemampuan intelektual hebat, juga cepat. Anak ibarat kertas kosong yang harus dilukis indah oleh orangtua untuk kehidupan mereka kelak.
Banyak keluarga saat ini, terutama di kota besar seperti Jakarta, kedua orangtua bekerja. Banyak waktu habis di luar rumah. Kondisi ini memunculkan rasa bersalah orangtua. Orangtua ingin memastikan anak berada dalam pengasuhan terbaik. Orangtua juga didorong oleh rasa takut menghadapi masa depan yang tidak pasti. Orangtua membekali anak dengan senjata lengkap untuk menghadapi hari esok dan mengantisipasi kegagalan. Waktu anak diisi dengan banyak kegiatan terbaik menurut orangtua. Anak dijejali dengan beragam les setiap harinya. Akhirnya, anak hanya memiliki waktu luang di hari libur. Fenomena yang sudah “biasa” pada jaman ini sekaligus mengenaskan bagi anak kita.
Rasa takut, rasa bersalah menciptakan orangtua dan pendidik yang panik. Kepanikan terus menjalar dan menular sehingga membentuk asumsi yang keliru mengenai bagaimana membesarkan dan mendidik anak.
Pemujaan terhadap prestasi dan hilangnya masa kanak-kanak
Kegiatan sekolah dan jadwal les yang padat membuat anak terbeban. Anak menderita dengan tuntutan jaman. Anak Playgroup sudah dituntut untuk bisa membaca huruf dan angka. Sementara Anak Taman Kanak-kanak sudah dituntut bisa menjumlah dan membaca kalimat.
Tidak heran, banyak anak mengalami cemas, stres dan depresi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan kecemasan pada anak. Ini terjadi mungkin karena peningkatan jumlah tes akademis. Di sisi lain, harapan orangtua pada nilai akademis anak begitu tinggi. Kecemasan ini mengganggu proses belajar dan kinerja anak. Hal lain yang mencemaskan adalah kurangnya frekuensi interaksi anak dengan orangtuanya. Padahal anak merasa aman dan nyaman saat berada di dekat orangtua dan di tengah keluarga. Diduga, ini menyebabkan meningkatnya tingkat kenakalan, kriminalitas, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Masalah lain yang timbul karena pemujaan terhadap prestasi adalah menurunnya kuatitas kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini meliputi kemampuan pengendalian diri, keuletan, ketekunan, kemampuan memotivasi diri dan orang lain, welas asih serta empati. Itulah esensi dari karakter seseorang.
Apa yang terjadi dengan bermain? Tahun 1981, anak-anak usia sekolah memiliki 40% waktu bermain. Tahun 1997, waktu bermain menurun hingga tinggal 25%.
Bahaya kurang bermain
Apakah waktu bermain yang sedikit bermasalah bagi anak? Beberapa ahli berpendapat, kurangnya bermain menimbulkan depresi dan sikap bermusuhan dalam diri anak. Coba saja kita bayangkan, apa yang kita rasakan kalau kerja terus tanpa cuti dan liburan? Kita akan mengalami depresi juga, bukan? Anak kita juga butuh istirahat untuk mengasimilasi hal-hal yang telah dipelajari, juga untuk sekedar bersenang-senang.
Data terbaik diperoleh dari penelitian dengan sejumlah hewan. Jaak Panksepp, profesor dari Bowling Green University di Ohio menggunakan seekor tikus yang diberi dua buah perlakuan. Pertama, tikus tersebut dikondisikan kurang bermain. Apa yang terjadi pada tikus ini? Tampak terlihat efek negatif pada otak di bagian lobus frontal. Bagian otak ini adalah pusat pengendalian diri terletak. Selanjutnya, tikus tadi dibiarkan bermain. Terjadi perbaikan pada otak dengan sendirinya pada tikus yang bermain. Jadi, perkembangan otak akan menjadi lebih baik dengan bermain.
Pentingnya bermain
Umumnya orangtua memahami makna bermain meskipun terdapat fakta adanya penurunan waktu bermain yang diberikan orangtua pada anak sejak tahun 1980. Survey oleh Harvard University tahun 2000, ada 87% orangtua dari anak berusia tiga sampai lima tahun menganggap bermain adalah penting untuk perkembangan sehat pribadi anak. Orangtua bahkan tahu jenis-jenis permainan yang terbaik bagi anak.
Orangtua paham apa yang harus dilakukan, namun tidak dapat melakukannya. Orangtua takut jika mempercayai naluri membiarkan anak bermain, anak akan kehilangan waktu untuk belajar. Seorang ibu mengatakan, “Kalau anak saya biarkan hanya bermain, dia akan kehilangan waktu berharga untuk belajar. Apa rasanya kalau anak saya tertinggal dari anak-anak yang lain?”
Bermain sama saja membuang waktu adalah mitos salah yang sudah meresap dalam lingkungan berorientasi pada prestasi dan mengagungkan intelektual semata. Para peneliti di dunia sependapat, bahwa bermain menjadi pondasi yang kokoh bagi perkembangan intelektual, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, serta sebagai esensi perkembangan emosi dan kemampuan sosial. Bermain memegang kunci dalam pemenuhan hidup yang sehat bagi anak. Bermain adalah kunci kebahagiaan dan kecerdasan anak.
Jenis permainan berbeda untuk tiap usia. Orang dewasa sudah tidak bermain air di bathtub dengan bola warna warni. Begitupun anak belum mampu bermain Scrabble yang justru menarik bagi kita orang dewasa. Permainan memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda antar usia. Permainan adalah cermin perkembangan pikiran anak yang semakin kompleks seiring bertambahnya usia.
Einstein tidak pernah menggunakan flash cards
Pelajaran apa yang bisa kita lihat dari masa kanak-kanak Einstein? Sederhana, Einstein memilih jalannya sendiri. Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk bermain. Orangtua dan keluarga memberi perhatian pada minat Einstein dan mendukungnya dengan pelajaran, mainan, buku, juga kebebasan melakukan apa yang dia sukai. Einstein punya kebebasan menjadi dirinya sendiri, kebebasan menelusuri masalah yang menarik baginya. Jika orangtua Einstein tidak pernah memberikan flash cards, mengapa orangtua jaman modern punya keyakinan mereka harus mengajar anak membaca sebelum usia tiga tahun?
Empat prinsip orangtua dalam mendampingi anak
Sekarang kita sudah disadarkan bahwa keliru mendesak masa kanak-kanak dengan mengorbankan waktu bermain demi mempercepat perkembangan intelektual. Kita dapat melangkah maju dengan cara yang lebih sehat berdasarkan empat prinsip di bawah ini:
Prinsip 1: Belajar sesuai kapasitas alamiah anak
Anak butuh orangtua, pendidik, pengasuh, dan orang dewasa lain yang dapat menantang kemampuan alamiahnya. Mengapa mengajarkan ilmu roket pada anak umur tiga tahun padahal mereka belum mengerti tentang awan? Lebih baik meminta tolong anak mengambil empat buah sendok makan dan menghitungnya bersama untuk mengajari makna angka empat daripada menggunakan flash cards. Menunjukkan masalah-masalah yang bisa dilihat dan diketahui secara langsung oleh anak mendukung perkembangan kogitif anak. Berbeda bila kita meminta anak melakukan sesuatu di luar kemampuan alamiahnya, kita sedang menciptakan frustrasi, bahkan menimbulkan perasaan tidak berdaya.
Prinsip 2: Penghargaan pada proses memunculkan rasa suka belajar
Kita ingin anak menyukai proses belajar, bukan pertama terbeban oleh hasil. Lebih penting mengajak anak tahu bagaimana berpikir dan memperoleh jawaban daripada benar atau tidaknya jawaban tersebut. Coba ingat apa yang kita rasakan saat tes. Berulang kali kita menghadapi tes dan selalu cemas akan hasilnya. Kita cenderung mengajarkan anak untuk mengerjakan tes dengan baik, bukan bagaimana berpikir dengan baik. Selanjutnya mereka akan menjadi pelajar yang penuh rasa takut. Penekanan pertama pada proses belajar daripada hasilnya akan membantu menciptakan kecintaan anak untuk belajar.
Prinsip 3: Kecerdasan emosi, tidak hanya intelektual
Ada hal lain yang penting selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi. Penting bagi anak untuk meraih prestasi akademis di sekolah, namun ini belum cukup. Kecerdasan emosi tidak kalah penting. Hubungan antara kecerdasan emosi dan keberhasilan akademis di kelas sudah bisa dilihat sejak Taman Kanak-kanak. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang mudah berteman dan diterima oleh lingkungannya mampu mandiri dan berprestasi secara akademis. Kecerdasan emosi dan intelektual adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam perkembangan anak.
Salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan perkembangan intelektual dan emosi adalah permainan sosial. Permainan sosial memiliki keuntungan bagi perkembangan emosi, kognitif dan meningkatkan kemampuan sosial. Dalam permainan sosial ini anak mengeksplorasi banyak hal, di antaranya mengembangkan kemampuan kerjasama kelompok, solidaritas, negosiasi, belajar menerima kemenangan dan kekalahan dengan sportif, serta membuat, menyepakati dan menjalani aturan sosial. Beberapa permainan sosial yang sudah kita kenal adalah petak umpat, galasin, benteng, lompat karet, engklek.
Prinsip 4: Belajar dalam konteks bermain adalah guru terbaik
Peran orangtua dan pendidik adalah membawa anak belajar dalam konteks. Anak bisa bermain menjadi dokter, bermain Barbie dengan miniatur peralatan rumah tangga yang lengkap. Bermain adalah arena dimana anak bisa mencoba apa saja tanpa ada konsekuensi bagi kehidupan nyata karena semua hanya bermain peran. Belajar dalam konteks bermain membawa anak pada dunianya dimana memberikan ruang bagi imajinasinya untuk berkembang. Anak merasa dunia berada dalam kendalinya sehingga belajar menjadi benar-benar bermakna.
***
Membaca uraian di atas, kita paham bahwa mitos "lebih cepat itu lebih baik" dalam membesarkan dan mendidik adalah mitos yang perlu ditinjau kembali. Sekarang kita dapat menyatakan BERMAIN = BELAJAR. Bermain adalah kunci kebahagiaan dan kecerdasan anak. Anak yang memiliki banyak waktu bermain menjadi lebih bahagia. Anak yang lebih bahagia mampu menjalin relasi lebih baik dengan teman-teman sebayanya dan lebih bisa menaruh perhatian pada pelajaran di kelas. Mereka menjadi lebih baik di sekolah. Kecerdasan intelektual dan emosi terbukti dapat berkembang melalui bermain. Bermain memegang peranan penting dalam pemenuhan hidup yang sehat bagi anak.
Anak memerlukan kedekatan emosi dengan orangtuanya. Hubungan anak dan orangtua yang terpelihara baik mendorong perkembangan intelektual dan emosi yang sehat pada anak. Jika orangtua Einstein tidak pernah memberikan flash cards, mengapa kita harus?
Adaptasi dari: Buku Einstein Never Used Flash Cards.
Oleh: Hanlie Muliani, M. Psi
Email: hanlie.muliani17@gmail.com
Banyak keluarga saat ini, terutama di kota besar seperti Jakarta, kedua orangtua bekerja. Banyak waktu habis di luar rumah. Kondisi ini memunculkan rasa bersalah orangtua. Orangtua ingin memastikan anak berada dalam pengasuhan terbaik. Orangtua juga didorong oleh rasa takut menghadapi masa depan yang tidak pasti. Orangtua membekali anak dengan senjata lengkap untuk menghadapi hari esok dan mengantisipasi kegagalan. Waktu anak diisi dengan banyak kegiatan terbaik menurut orangtua. Anak dijejali dengan beragam les setiap harinya. Akhirnya, anak hanya memiliki waktu luang di hari libur. Fenomena yang sudah “biasa” pada jaman ini sekaligus mengenaskan bagi anak kita.
Rasa takut, rasa bersalah menciptakan orangtua dan pendidik yang panik. Kepanikan terus menjalar dan menular sehingga membentuk asumsi yang keliru mengenai bagaimana membesarkan dan mendidik anak.
Pemujaan terhadap prestasi dan hilangnya masa kanak-kanak
Kegiatan sekolah dan jadwal les yang padat membuat anak terbeban. Anak menderita dengan tuntutan jaman. Anak Playgroup sudah dituntut untuk bisa membaca huruf dan angka. Sementara Anak Taman Kanak-kanak sudah dituntut bisa menjumlah dan membaca kalimat.
Tidak heran, banyak anak mengalami cemas, stres dan depresi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan kecemasan pada anak. Ini terjadi mungkin karena peningkatan jumlah tes akademis. Di sisi lain, harapan orangtua pada nilai akademis anak begitu tinggi. Kecemasan ini mengganggu proses belajar dan kinerja anak. Hal lain yang mencemaskan adalah kurangnya frekuensi interaksi anak dengan orangtuanya. Padahal anak merasa aman dan nyaman saat berada di dekat orangtua dan di tengah keluarga. Diduga, ini menyebabkan meningkatnya tingkat kenakalan, kriminalitas, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Masalah lain yang timbul karena pemujaan terhadap prestasi adalah menurunnya kuatitas kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini meliputi kemampuan pengendalian diri, keuletan, ketekunan, kemampuan memotivasi diri dan orang lain, welas asih serta empati. Itulah esensi dari karakter seseorang.
Apa yang terjadi dengan bermain? Tahun 1981, anak-anak usia sekolah memiliki 40% waktu bermain. Tahun 1997, waktu bermain menurun hingga tinggal 25%.
Bahaya kurang bermain
Apakah waktu bermain yang sedikit bermasalah bagi anak? Beberapa ahli berpendapat, kurangnya bermain menimbulkan depresi dan sikap bermusuhan dalam diri anak. Coba saja kita bayangkan, apa yang kita rasakan kalau kerja terus tanpa cuti dan liburan? Kita akan mengalami depresi juga, bukan? Anak kita juga butuh istirahat untuk mengasimilasi hal-hal yang telah dipelajari, juga untuk sekedar bersenang-senang.
Data terbaik diperoleh dari penelitian dengan sejumlah hewan. Jaak Panksepp, profesor dari Bowling Green University di Ohio menggunakan seekor tikus yang diberi dua buah perlakuan. Pertama, tikus tersebut dikondisikan kurang bermain. Apa yang terjadi pada tikus ini? Tampak terlihat efek negatif pada otak di bagian lobus frontal. Bagian otak ini adalah pusat pengendalian diri terletak. Selanjutnya, tikus tadi dibiarkan bermain. Terjadi perbaikan pada otak dengan sendirinya pada tikus yang bermain. Jadi, perkembangan otak akan menjadi lebih baik dengan bermain.
Pentingnya bermain
Umumnya orangtua memahami makna bermain meskipun terdapat fakta adanya penurunan waktu bermain yang diberikan orangtua pada anak sejak tahun 1980. Survey oleh Harvard University tahun 2000, ada 87% orangtua dari anak berusia tiga sampai lima tahun menganggap bermain adalah penting untuk perkembangan sehat pribadi anak. Orangtua bahkan tahu jenis-jenis permainan yang terbaik bagi anak.
Orangtua paham apa yang harus dilakukan, namun tidak dapat melakukannya. Orangtua takut jika mempercayai naluri membiarkan anak bermain, anak akan kehilangan waktu untuk belajar. Seorang ibu mengatakan, “Kalau anak saya biarkan hanya bermain, dia akan kehilangan waktu berharga untuk belajar. Apa rasanya kalau anak saya tertinggal dari anak-anak yang lain?”
Bermain sama saja membuang waktu adalah mitos salah yang sudah meresap dalam lingkungan berorientasi pada prestasi dan mengagungkan intelektual semata. Para peneliti di dunia sependapat, bahwa bermain menjadi pondasi yang kokoh bagi perkembangan intelektual, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, serta sebagai esensi perkembangan emosi dan kemampuan sosial. Bermain memegang kunci dalam pemenuhan hidup yang sehat bagi anak. Bermain adalah kunci kebahagiaan dan kecerdasan anak.
Jenis permainan berbeda untuk tiap usia. Orang dewasa sudah tidak bermain air di bathtub dengan bola warna warni. Begitupun anak belum mampu bermain Scrabble yang justru menarik bagi kita orang dewasa. Permainan memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda antar usia. Permainan adalah cermin perkembangan pikiran anak yang semakin kompleks seiring bertambahnya usia.
Einstein tidak pernah menggunakan flash cards
Pelajaran apa yang bisa kita lihat dari masa kanak-kanak Einstein? Sederhana, Einstein memilih jalannya sendiri. Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk bermain. Orangtua dan keluarga memberi perhatian pada minat Einstein dan mendukungnya dengan pelajaran, mainan, buku, juga kebebasan melakukan apa yang dia sukai. Einstein punya kebebasan menjadi dirinya sendiri, kebebasan menelusuri masalah yang menarik baginya. Jika orangtua Einstein tidak pernah memberikan flash cards, mengapa orangtua jaman modern punya keyakinan mereka harus mengajar anak membaca sebelum usia tiga tahun?
Empat prinsip orangtua dalam mendampingi anak
Sekarang kita sudah disadarkan bahwa keliru mendesak masa kanak-kanak dengan mengorbankan waktu bermain demi mempercepat perkembangan intelektual. Kita dapat melangkah maju dengan cara yang lebih sehat berdasarkan empat prinsip di bawah ini:
Prinsip 1: Belajar sesuai kapasitas alamiah anak
Anak butuh orangtua, pendidik, pengasuh, dan orang dewasa lain yang dapat menantang kemampuan alamiahnya. Mengapa mengajarkan ilmu roket pada anak umur tiga tahun padahal mereka belum mengerti tentang awan? Lebih baik meminta tolong anak mengambil empat buah sendok makan dan menghitungnya bersama untuk mengajari makna angka empat daripada menggunakan flash cards. Menunjukkan masalah-masalah yang bisa dilihat dan diketahui secara langsung oleh anak mendukung perkembangan kogitif anak. Berbeda bila kita meminta anak melakukan sesuatu di luar kemampuan alamiahnya, kita sedang menciptakan frustrasi, bahkan menimbulkan perasaan tidak berdaya.
Prinsip 2: Penghargaan pada proses memunculkan rasa suka belajar
Kita ingin anak menyukai proses belajar, bukan pertama terbeban oleh hasil. Lebih penting mengajak anak tahu bagaimana berpikir dan memperoleh jawaban daripada benar atau tidaknya jawaban tersebut. Coba ingat apa yang kita rasakan saat tes. Berulang kali kita menghadapi tes dan selalu cemas akan hasilnya. Kita cenderung mengajarkan anak untuk mengerjakan tes dengan baik, bukan bagaimana berpikir dengan baik. Selanjutnya mereka akan menjadi pelajar yang penuh rasa takut. Penekanan pertama pada proses belajar daripada hasilnya akan membantu menciptakan kecintaan anak untuk belajar.
Prinsip 3: Kecerdasan emosi, tidak hanya intelektual
Ada hal lain yang penting selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi. Penting bagi anak untuk meraih prestasi akademis di sekolah, namun ini belum cukup. Kecerdasan emosi tidak kalah penting. Hubungan antara kecerdasan emosi dan keberhasilan akademis di kelas sudah bisa dilihat sejak Taman Kanak-kanak. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang mudah berteman dan diterima oleh lingkungannya mampu mandiri dan berprestasi secara akademis. Kecerdasan emosi dan intelektual adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam perkembangan anak.
Salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan perkembangan intelektual dan emosi adalah permainan sosial. Permainan sosial memiliki keuntungan bagi perkembangan emosi, kognitif dan meningkatkan kemampuan sosial. Dalam permainan sosial ini anak mengeksplorasi banyak hal, di antaranya mengembangkan kemampuan kerjasama kelompok, solidaritas, negosiasi, belajar menerima kemenangan dan kekalahan dengan sportif, serta membuat, menyepakati dan menjalani aturan sosial. Beberapa permainan sosial yang sudah kita kenal adalah petak umpat, galasin, benteng, lompat karet, engklek.
Prinsip 4: Belajar dalam konteks bermain adalah guru terbaik
Peran orangtua dan pendidik adalah membawa anak belajar dalam konteks. Anak bisa bermain menjadi dokter, bermain Barbie dengan miniatur peralatan rumah tangga yang lengkap. Bermain adalah arena dimana anak bisa mencoba apa saja tanpa ada konsekuensi bagi kehidupan nyata karena semua hanya bermain peran. Belajar dalam konteks bermain membawa anak pada dunianya dimana memberikan ruang bagi imajinasinya untuk berkembang. Anak merasa dunia berada dalam kendalinya sehingga belajar menjadi benar-benar bermakna.
***
Membaca uraian di atas, kita paham bahwa mitos "lebih cepat itu lebih baik" dalam membesarkan dan mendidik adalah mitos yang perlu ditinjau kembali. Sekarang kita dapat menyatakan BERMAIN = BELAJAR. Bermain adalah kunci kebahagiaan dan kecerdasan anak. Anak yang memiliki banyak waktu bermain menjadi lebih bahagia. Anak yang lebih bahagia mampu menjalin relasi lebih baik dengan teman-teman sebayanya dan lebih bisa menaruh perhatian pada pelajaran di kelas. Mereka menjadi lebih baik di sekolah. Kecerdasan intelektual dan emosi terbukti dapat berkembang melalui bermain. Bermain memegang peranan penting dalam pemenuhan hidup yang sehat bagi anak.
Anak memerlukan kedekatan emosi dengan orangtuanya. Hubungan anak dan orangtua yang terpelihara baik mendorong perkembangan intelektual dan emosi yang sehat pada anak. Jika orangtua Einstein tidak pernah memberikan flash cards, mengapa kita harus?
Adaptasi dari: Buku Einstein Never Used Flash Cards.
Oleh: Hanlie Muliani, M. Psi
Email: hanlie.muliani17@gmail.com
Langganan:
Postingan (Atom)