Senin, 22 November 2010

Tekanan Stimulasi Anak Pemanjat Gunung oleh Krishnamurti

http://mindsetmotivator.com/2008/04/05/tip-praktis-nlp30-for-parenting-tekanan-“-stimulasi-anak-pemanjat-gunung-”/



Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan yang sangat diperlukan seorang anak manusia untuk mengatasi masalah atau kesulitan agar bisa berhasil dalam kehidupan ini, selain kemampuan lainnya seperti IQ, EQ atau SQ), demikian penelitian ahli Paul G. Stoltz, Ph.D.

Stoltz menyampaikan hal ini, karena ada orang yang OTAK ENCER (memiliki IQ di atas rata-rata), MULUT LEMEH (memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik), FRIENDLY juga penyesuaian dirinya baik, tapi kurang mampu menghadapi masalah-masalah yang menghadang. Pada akhirnya ia gagal mencapai apa yang menjadi tujuannya. Malah banyak yang jadi tukang gossip he..he..

Stoltz meneliti ada 3 tipe anak sehubungan dengan kemampuan mengatasi masalah tersebut, yang dia umpamakan seperti orang yang mendaki gunung.
  1. Tipe QUITTERS (mereka yang berhenti dan menyerah)
Adalah anak yang bila sedang mendaki gunung, akan memilih berada di tempat yang paling bawah. Pendaki gunung tipe ini:
- Biasanya memilih tempat cukup di kaki gunung dan biasanya memilih dekat sungai dan banyak warung he..he..)
- Biasanya sibuk ber-foto ria dengan latar belakang gunung yang indah, tinggi dan lengkap karena gunungnya masih jauh he..he..
- “Mana bisa motret gunung kalo di puncak gunung, bukan?” demikian celoteh canda mereka.
- Biasanya berusaha menjauh dari permasalahan, rasa takut dan kuatir lebih kuat dari rasa keinginan bertindak (action).
- Saat melihat atau menghadapi kesulitan, ia akan memilih mundur, dan tidak berani menghadapi permasalahan.

2. Tipe CAMPERS (mereka yang berkemah)

Adalah anak yang belum mencapai puncak gunung tapi sudah merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya saat ini. Ia tak mau mendaki lebih tinggi karena risiko yang terlalu besar. Pendaki gunung tipe ini:
- Biasanya lebih menyiapkan diri untuk jalan aman kembali turun dari pada memikirkan bagaimana strategi naik ke puncang gunung.
- Biasanya mencari tempat yang cukup aman dan nyaman. “Ah, paling tidak aku bisa berkemah dengan selonjor kaki. Dari pada tidur dalam posisi jongkok di atas gunung” demikian imajinasi “aman” mereka.
- Biasanya cepat puas atau selalu merasa cukup berada di posisi tengah.
- “Tujuan aku camping kok, bukan mendaki puncak gunung. Ngapain juga nyusahin diri” demikian pembelaan diri mereka.
- Biasanya mengabaikan kemungkinan, peluang atau kesempatan baru yang bisa didapat, bila melangkah lebih tinggi dan lebih jauh.

3. Tipe CLIMBERS (mereka sang Pendaki Gunung sejati)

Adalah anak yang mempunyai tujuan, punya impian, punya target atau sasaran, atau paling tidak sudah punya sesuatu yang ingin diwujudkan. Dan, untuk merealisasikan ide itu, mereka memiliki kemauan dan mampu mengusahakan dengan ulet, tekun dan gigih. Mereka:
- Memiliki rasa ingin tahu atau rasa “Penasaran” yang besar. “Wah, pasti seru nih!” demikian kira-kira mindset dalam benak mereka.
- Memiliki rasa percaya diri yang besar. “Paling tidak, aku sudah usaha yang maksimal dan aku punya pengalaman baru (bukan kegagalan)”
- Memiliki keberanian menghadapi sesuatu yang baru. “Anything is POSSIBLE. Gimana bisa tahu, kalo nggak mencoba” tentu dalam konteks positip ya…
- Memiliki disiplin yang tinggi. “Aku harus selesaikan apa yang telah aku mulai” demikian tekad dalam diri mereka.
- Tipe inilah yang tergolong memiliki AQ yang baik.

Nah, apakah kecerdasan mengatasi masalah ini bisa dihasilkan tiba-tiba atau instant? Tentu saja jawabanya TIDAK. Harus ada PROSES yang dilalui. Harus ada LATIHAN dengan disiplin yang baik. Dan juga, harus ada UJIAN-nya. Kalau tidak, kita tidak pernah tahu kita berada di kelas berapa, bukan?
Apakah bisa dipercepat proses melatih AQ ini? Tentu, peluang mempercepat proses ini makin besar sejak ditemukannya NLP. Banyak sekali teknik-teknik NLP yang mendukung hal ini. Kebetulan, saya punya beberapa pengalaman tentang hal ini saat dipercaya membantu para atlet PASI Jatim pada PON di Palembang beberapa tahun lalu.

Baiklah berikut ini beberapa ide dan tip praktis NLP ala saya, yang semoga saja bisa berhikmah untuk Anda sebagai orang tua dalam melatih anak-anak Anda menjadi anak Tangguh atau lebih tangguh dari sebelumnya.
Dasarnya sederhana saja karena Allah sudah memberikan kita alat bantu agar kita bisa lebih mudah mengeksplorasi dunia, maka gunakan saja alat bantu itu yakni alat indra kita: Mata, Telinga dan alat Perasa. Dalam NLP dikenal istilah V.A.K (Visual, Audiotori dan Kinestetik)
Artinya dalam menstimulasi atau melatih “mental” anak-anak untuk menjadi tangguh, usahakan dan libatkan ke 3 unsur tersebut agar dapat terekam dengan baik oleh mereka yang akan menjadi pengalamandi kehidupan mereka di masa mendatang.

Beberapa cara “Kampoeng” yang dianggap kuno tapi menurut NLP ala saya adalah NLP yang luar biasa, khususnya untuk menstimulasi anak-anak yakni:

Dongeng
Ah, mendongeng adalah metode yang luar biasa dampaknya. Masih tersimpan dengan sangat baik di otak saya, bagaimana Tante saya yang kami panggil “Engkim Luluk” mendongeng dengan mimik semangat di depan kami tiga bersaudara yang duduk kursi panjang beranda rumah, sore menjelang malam hari, sekitar tahun 1970an. Ehm, dongeng betapa cerdiknya Sang Kancil dalam menghadapi tantangan serigala. Ternyata Gambar Kancil terekam dengan sangat kuat di benak saya sampai saat ini, karena ternyata otak kita menyimpan GAMBAR KANCIL bukan huruf “K A N C I L” bukan?
Nah, mendongengkan sendiri pesan akhlak, pesan nilai-nilai atau pesan mental yang ingin Anda tanamkan kepada jiwa anak Anda, tentu sangatlah baik. Anad hanya perlu melatih diri untuk melibatkan seluruh indra Anda saat bercerita. Jadilah si Kancil dengan gerakan, suara dan rasa percaya diri yang besar karena cerdik.
Untuk dongeng monyet yang lincah, Anda tentu perlu belajar jadi monyet. Bukan? He..he.. Baik juga pergi ke Ubud Bali dan belajar dengan “saudara” tertua kita di Monkey Forest… kebetulan saya sedang berada disini saat menulis artikel ini dan memang sedang belajar dengan mereka he..he..

Bermain
Beberapa permainan “Kampoeng” menurut observasi saya, sungguhlah sangatlah efektif dalam melatih ketangguhan anak-anak. Misalnya:

Permainan Lompat Karet
Umumnya dimainkan oleh anak-anak perempuan. Selain melatih kelenturan fisik, juga melatih diri untuk tetap TENANG saat menghapi tekanan. Karena biasanya pihak yang mendapat giliran memutar karet akan mempercepat putarannya, jika pihak pelompat karet bisa terus mengatasi tingkat tantangan yang diberikan. Misal: batas dengkul, batas paha, batas pinggan, batas pundak, batas kepala dan batas kepala plus satu jengkal tangan atau disebut batas “MERDEKA!!!”

Permainan Kelereng
Dengan beberapa kombinasi tantangan atau tingkat kesulitan tertentu, membuat anak-anak harus meningkatkan kemampuannya, kalau tidak akan kalah. Nah, saat kalahpun ini adalah latihan yang baik untuk anak-anak dalam mengatasi rasa kalah. Memilih menyerah atau malahan makin giat berlatih?
Dalam pengalaman saya bermain kelereng saat masih kecil, sering kali kita berhadapan dengan situasi yang sulit untuk “menembak” kelereng yang dituju. Semakin terlatih, semakin mudah kita menghadapi situasi sulit tersebut. Saat bisa mengatasi situasi sulit itu, tersimpan rasa bangga dalam diri ini. “Yes, I CAN Do It!” bukan kelerengnya…

Nah, selanjutnya silahkan Anda kembangkan sendiri nilai-nilai atau sikap mental apa yang Anda ingin tanamkan ke anak-anak Anda, berikut ini beberapa ide saja yang semoga menjadi referensi hikmah.

Misal: kita ingin mengajarkan “KETEKUNAN

MERAJUT: Anda bisa mencontohkan (visual) bagaimana nikmatnya (rasa) membuat rajutan. Lamanya waktu proses pembuatan bisa menjadi pelajaran akan ketekunan, juga kesabaran.

MEMBATIK: merupakan contoh yang luar biasa dan sangat mengagumkan akan makna ketekunan dan kesabaran. Selain manfaat untuk pelestarian budaya. Biaya pelatihan jadi murah, peralatanpun sekarang Anda bisa peroleh dengan mudah ditoko-toko batik di kota-kota besar Jawa Tengah.

Contoh menstimulasi: MENYERANG & BERTAHAN

CATUR adalah pilihan yang baik dalam menstimulasi anak-anak untuk memiliki mental kapan harus menyerang, kapan harus bertahan. Karena ada giliran bermain menyerang dengan bidak putih dan bermain bertahan dengan bidak hitam. Permainan ini menjadi salah satu kegemaran saya sejak saya SD dan salah seorang teman yang berjasa untuk hal ini adalah teman SD saya bernama Parlin Hasibuan yang dengan telaten mengajarkan saya bermain catur sampai kami berpisah setamat SMP.

Contoh menstimulasi: KETANGGUHAN & “PAIN TOLERANCE

OLAHRAGA adalah pilihan terbaik untuk melatih ketangguhan anak-anak, karena ada saat-saat mereka harus melawan rasa sakit dan ini sangat penting kekuatan mereka di masa depan, sehingga mereka akan memiliki toleransi yang tinggi terhadap rasa sakit yang mungkin saja semakin meningkat dengan tantangan yang lebih berat. Bukankah sebuah hal yang mustahil otot yang kekuatan angkat bebannya hanya 20 kg, bisa mengangkat beban yang beratnya 50 kg, bukan? Tentu, diperlukan otot dengan kekuatan angkat minimal 50 kg juga.

RENANG dengan satu gaya yang monoton adalah sarana latihan mental yang baik, misal berenang dengan gaya dada selama 2 jam. Bukan renang dengan kecepatan. Atur saja, sesuai kebutuhan. Jika tekanan yang ingin Anda ciptakan, tentu lomba renang dengan kecepatan adalah pilihan stimulasi yang baik. Jika daya tahan, tentu lama waktu yang jadi pilihan.

BERSEPEDA juga merupakan cara yang kreatif untuk menstimulasi anak-anak akan kemampuan toleransi mengatasi rasa sakit, khususnya perjalanan yang menantang seperti ke gunung atau mountain bike.

MARATON adalah pilihan yang paling praktis dan murah tentunya, selain bisa dilakukan kapan saja, juga bisa kapan saja. Lama waktu (bukan kecepatan) adalah stimulasi yang sangat baik untuk daya tahan, khususnya ketangguhan dan membuat strategi di dalam diri untuk terus melangkah sampai tiba di tujuan.
Maraton berbeda dengan olah raga lain, karena dalam pengalaman saya sejak SD yang hamper setiap minggu pagi marathon dengan teman-teman, saya selalu berhasil mengatasi suara dalam diri saya (self talk) untuk menyerah. Saya selalu katakana: “Krishna terus, terus dan terus lari sampai FINISH. Paling pingsan, gak mungkin mati kok”

Ingat sobatku, berjuang menggapai impian tidak akan membuat Anda mati. Jikapun Anda mati, maka Anda akan mati dengan kemenangan.

Krishnamurti

Senin, 15 November 2010

Mengenali Gaya Belajar Memacu Anak Melejitkan Prestasi - Part 3

Keunikan Gaya Belajar Individu




Seperti yang sudah kita ketahui, penyerapan informasi sangat bergantung pada cara orang mengusahakannya, dan hal itu memiliki konsekuensi yang luas terhadap keberhasilan mereka dalam pembelajaran dan pelatihan. Dengan memberikan instruksi kepada anak dan para siswa melalui kekuatan gaya belajar, akan terlihat suatu perubahan sikap yang cepat dan tingkat kegagalan di sekolah turun secara efektif bahkan sampai ke titik nol. Pengaruhnya langsung bisa kita lihat terutama para siswa yang berprestasi rendah, karena wawasan tentang kemampuan belajar mereka menghasilkan perbaikan kinerja di kelas ketika mereka mulai mengerti gaya belajar mereka sendiri. Penelitian yang mendukung pernyataan ini bisa ditelusuri ke belakang lebih dari dua puluh tahun terakhir di Amerika, dan berkembang pesat ke seluruh dunia.

Di antara semua unsur yang membentuk gaya belajar seseorang secara keseluruhan, ada empat dari enam indra ( melihat, mendengar, menyentuh, dan merasa) yang paling mempengaruhi penyerapan informasi, ingatan, dan proses belajar. Jika diterjemahkan ke dalam istilah teknis, keempat indra itu bisa digambarkan sebagai modalitas indrawi atau preferensi perseptual visual, auditori, taktil dan kinestetik.

Pusat-pusat untuk memproses informasi indrawi tersebar di seluruh otak dan berkembang dengan kecepatannya sendiri pada setiap manusia. Anak-anak untuk pertama kalinya mulai belajar dan mengingat hal-hal sulit dengan mengalamninya langsung secara kinestetik (K), yang artinya butuh melibatkan seluruh tubuh ketika menyerap informasi dan mendapatkan ketrampilan dasar. Modalitas kedua yang berkembang adalah taktil (T), itulah sebabnya anak-anak kecil harus menyentuh apa saja yang menarik minat. Mereka belajar dengan menggarap serta berinteraksi dengan benda dan orang. Sekitar usia delapan tahun, sebagian anak mulai mengembangkan preferensi visual yang kuat (V), yang memungkinkan mereka menyerap informasi dengan cara mengamati dan melihat apa yang berlangsung di sekeliling mereka. Melihat menjadi alat belajar yang sangat penting. Kira-kira usia sebelas tahun, banyak yang mulai lebih bersifat auditori (A), artinya mereka mulai bisa belajar dengan baik terutama dengan mendengarkan dan dengan mudah mengingat informasi kompleks yang didengar.

Ternyata, mayoritas anak usia sekolah tetap bersifat kinestetik/taktil selama bertahun-tahun di sekolah dasar, dan jumlah siswa yang sangat auditori atau visual jauh lebih sedikit daripada yang dibayangkan para guru. Penelitian dilakukan di Selandia Baru dan ditemukan hasil yang sama (mulai dari kalangan eksekutif, para manajer dan pekerja, sampai siswa-siswa politeknik, universitas, atau sekolah bisnis). Bukti ini diperoleh dari banyaknya orang yang mendaftar untuk menggunakan instrument Working Style Analysis (WSA, Analisis Gaya Bekerja).  Sedangkan instrumen yang digunakan untuk melihat preferensi gaya belajar seseorang menggunakan Learning Style Analysis (LSA, Analisis Gaya Belajar).

Mereka yang analisis visual (orang-orang dengan gaya berpikir otak kiri, berurutan dan reflektif) agaknya mampu mengingat kata-kata dan angka-angka dengan lebih baik. Sedangkan rekannya yang holistis visual (orang-orang dengan gaya berpikir otak-kanan, kreatif, dan acak) cenderung lebih baik dalam mengingat gambar, ilustrasi, grafik, dan simbol.

Ketika anak-anak dan orang dewasa tidak mengingat sebagian besar yang mereka dengar dan lihat, lalu bagaimana cara mereka mengingat? Mereka mengingat dengan cara menyentuh, merasakan, menangani, dan/atau mengotak-atik sesuatu. Ini semua adalah ciri-ciri pelajar taktil (T), yang merupakan porsi terbesar anak-anak di Selandia Baru. Selain itu, ditemukan bahwa proses penyerapan informasi melalui tangan adalah gaya yang lebih disukai oleh lebih dari 30 persen pelajar dewasa.

Kelompok besar lainnya adalah pelajar kinestetik (K). Mereka yang butuh mengalami langsung apa yang mereka pelajari. Mayoritas anak kecil, dan banyak lagi siswa serta orang dewasa, mampu belajar dan mengingat dengan cara yang apling efektif ketika melakukan sesuatu, bermain, mengadakan perjalanan, membangun sesuatu, memasak, membuat, mengalami, mengunjungi, bertemu, dan berinteraksi dengan orang lain. Mereka mampu belajar dan mengingat dengan sangat mudah juga baik melalui kegiatan yang melibatkan seluruh tubuh.

*****
Pengetahuan tentang kisaran preferensi penyerapan informasi, pentingnya modalitas, dan seberapa kuat modalitas itu pada setiap individu akan membantu orang tua untuk memahami kebutuhan belajar sejati anak-anak mereka. Mengenali gaya belajar memacu anak melejitkan prestasinya.

“Setiap orang BISA belajar, tetapi setiap orang belajar dengan cara yang berbeda”




Sumber: The Power of Learning Styles

Kamis, 11 November 2010

Mengenali Gaya Belajar Memacu Anak Melejitkan Prestasi - Part 2

Model Sukses Yang Baru, Belajar Dengan Gaya Sendiri

Semua orang dalam segala usia dapat benar-benar mempelajari apapun apabila dibiarkan melakukannya dengan gaya unik yang sesuai dengan kekuatan pribadi mereka sendiri. Mereka akan lebih mampu menampilkan kinerja yang konsisten apabila kondisi bekerjanya sesuai dengan preferensi gaya individual mereka.

Penelitian selama 25 tahun terakhir, terutama yang dilakukan St. John's University di New York, membuktikan bahwa manusia mampu mempelajari materi subyek apa pun dengan berhasil apabila metode instruksi yang digunakan sesuai dengan preferensi pembelajaran individual mereka. Apabila keragaman manusia dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses belajar, dalam situasi pelatihan atau dalam penguasaan keterampilan, hasilnya selalu positif. Pelajar merasa senang, memperoleh sensasi keberhasilan meraih sesuatu tanpa frustrasi dan stres, mengalami peningkatan motivasi, dan selalu bisa mengendalikan proses belajar.

Menurut Dr. Rita dan Dr. Kenneth Dunn, dua peneliti utama dalam bidang ini, gaya belajar adalah cara manusia mulai berkonsentrasi, menyerap, memproses, dan menampung informasi yang baru dan sulit.

Setelah meneliti tentang alasan para murid benar-benar mendapat masalah dalam belajar, dan banyak orang merasa sangat sulit untuk mempertahankan kinerja, kini menjadi jelas bahwa rahasia sukses dalam belajar terletak pada pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri, gaya, potensi, dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan. Manfaat terbesar dari seluruh aspek pengenalan diri akan tampak jelas bukan hanya dalam bidang pembelajaran, pengajaran, dan pengkajian, melainkan juga dalam kehidupan pribadi dan profesional seseorang.

Apabila orang dibiarkan belajar dan bekerja dengan gaya mereka sendiri, dan menemukan lingkungan yang sesuai dengan kegiatan-kegiatan mereka, tidak ada batasan untuk pencapaian manusia. Mereka benar-benar mampu melakukannya dengan tingkat stres yang jauh lebih kecil dan kegembiraan yang jauh lebih besar.

Hal ini akan menimbulkan sikap yang lebih baik terhadap pembelajaran dalam suatu kelompok besar murid yang tidak dapat belajar baik dengan metode pengajaran tradisional, yang membuat mereka percaya bahwa mereka memang bodoh dan sering kehilangan gairah untuk belajar seumur hidup. Namun, apabila mereka didorong untuk belajar dengan cara mereka sendiri, dengan memanfaatkan preferensi gaya mereka yang unik, biasanya mereka menjadi sangat bergairah menyelesaikan tugas-tugas belajar mereka dan benar-benar menjadi suka belajar seumur hidup.

Semua orang juga menjadi lebih efektif dalam hubungan interpersonal karena pemahaman mereka terhadap keragaman manusia memberi sarana baru yang lebih baik untuk lebih sukses dalam berinteraksi.

Ketika manusia mengenal potensi mereka, gaya unik mereka, dan cara mereka menyerap informasi secara efektif, dengan sendirinya mereka akan mencapai tujuan sebagai suatu spesies menjadi pembelajar seumur hidup yang sukses dengan gaya mereka sendiri.

To be continue...





Sumber: The Power of Learning Styles

Rabu, 10 November 2010

Mengenali Gaya Belajar Memacu Anak Melejitkan Prestasi - Part 1

Tugas Mustahil Membuat Semua Orang Senang Belajar?


Praktek pendidikan tradisional yang sangat menekankan pada kemampuan matematika dan bahasa serta penyampaian formal yang kebanyakan menggunakan metode pengajaran otak kiri yang analitis, kurang memberi ruang bagi kebanyakan pelajar untuk mengembangkan keterampilan hidup dan kemampuan belajar agar bisa bertahan dengan mudah dalam dunia kita yang cepat berubah.

Para murid tidak dapat memahami diri mereka sebagai pelajar, apa yang sedang terjadi pada diri mereka, atau mengapa mereka tidak mampu mencapai nilai yang cukup bagus selama bertahun-tahun di sekolah. Akibatnya, penghargaan diri dan motivasi mereka menurun secara drastis.

Pernyataan bahwa semua orang bisa belajar, bahwa pendidikan umum adalah perusakan mental secara massal dan malah menimbulkan kesulitan belajar, bukanlah hal yang baru. Jumlah siswa yang berprestasi rendah di sekolah terus meningkat. Kesulitan belajar sudah menjadi fakta kehidupan. Motivasi belajar semakin menurun ketika para pelajar semakin lama berada dalam sistem pendidikan. Hampir semua orang senang saat masa sekolah berakhir, bahkan banyak dari mereka yang berhasil meraih gelar pendidikan merasa bahwa belajar itu memang sulit dan membuat frustrasi.

Kenangan indah saat belajar di sekolah adalah sesuatu yang langka. Penyerapan pengetahuan dalam benak kebanyakan orang seolah-olah berhenti selepas sekolah. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila pembelajaran seumur hidup tidak menjadi bagian dari tataran pikiran kita. Meski demikian, kebanyakan orang justru lebih menghargai pembelajaran yang dialami dalam kehidupan "nyata". Sejalan dengan berlalunya tahun demi tahun, biasanya mereka semakin menguasai proses belajar ini dan bahkan menikmatinya! Namun, begitu mereka harus kembali masuk ke dalam situasi pelatihan tradisional atau yang lebih buruk lagi pembelajaran formal, dalam diri mereka akan terbentuk perasaan-perasaan negatif. Perasaan-perasaan yang dulu pernah mereka alami ketika belajar di sekolah yaitu kecemasan, frustrasi, kebosanan, ketegangan, penurunan motivasi.

Meski demikian, mengingat hakikatnya otak manusia, sudah jelas bahwa fungsi utama otak manusia adalah untuk belajar dan bahwa manusia mampu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka.

Lagi pula, dengan kekuatan otak yang menakjubkan pada semua manusia, pembelajaran seperti halnya pengkajian dan penyerapan informasi seharusnya menyenangkan, sangat mudah, tanpa ketegangan, dan memberikan kesan mendalam yang tahan lama.

Apabila semua itu benar, mengapa begitu banyak orang mengalami kesulitan belajar, memiliki ingatan buruk, bermasalah dalam konsentrasi, dan merasakan ketegangan saat ingin menyerap informasi atau menguasai keterampilan tertentu?

Jawabannya ternyata sangat sederhana dan realistis. Sulit dipercaya, di balik semua ini, kunci keberhasilan dalam belajar dan bekerja adalah mengetahui gaya belajar atau bekerja yang unik dari setiap orang. Menerima kekuatan sekaligus kelemahan diri sendiri, dan sebanyak mungkin menyesuaikan preferensi pribadi dalam setiap situasi pembelajaran, pengkajian maupun pekerjaan.

To be continue...




Sumber: The Power of Learning Styles

Senin, 01 November 2010

Bahaya video games bagi anak

Kecanduan bermain video games bisa berpengaruh negatif, terutama pada perkembangan anak

Follow this link:
http://kosmo.vivanews.com/news/read/186210-bahaya-video-games-bagi-anak

Senin, 25 Oktober 2010

Parents, WE ARE The Greatest Motivator For Our Children

Kisah seorang bocah berusia empat tahun, ia dikatakan tuli dan bodoh di sekolahnya (meskipun sebenarnya tidak ada anak yang bodoh, karena setiap anak unik dan tidak terbandingkan). Suatu hari, anak itu pulang membawa secarik kertas dari guru. Ibunya membaca tulisan di kertas tersebut, “Tommy, anak Ibu sangat bodoh. Kami minta Ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah.” Sang Ibu terhenyak membaca surat itu, namun juga memiliki motivasi yang luar biasa untuk anaknya. Ia meneguhkan tekad, “Anakku Tommy, bukan anak yang bodoh. Aku sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia.”

Bocah kecil bernama Tommy tersebut tumbuh menjadi seorang Thomas Alva Edison, salah satu penemu terbesar di dunia. Dia hanya bersekolah sekitar tiga bulan, dan secara fisik agak tuli. Berkat dorongan dan motivasi Sang Ibu, kekurangannya tidak menjadi batu penghalang untuk terus maju dan berhasil.

Tidak banyak orang yang pernah mendengar dan mengenal Nancy Matttews. Seorang motivator unggul dunia, yang tidak menyerah begitu saja dengan pendapat pihak sekolah terhadap anaknya. Nancy memutuskan untuk menjadi guru pribadi bagi pendidikan Edison di rumah. Dia menjadikan putranya sebagai orang yang memiliki kepercayaan bahwa dirinya berarti. Nancy memotivasi dan memulihkan kepercayaan diri Edison. Ini sangat berat baginya, namun keterbatasan tidak sekalipun membuatnya berhenti dan menyerah.

Thomas Alva Edison menjadi seorang penemu dengan 1.093 paten penemuan atas nama dirinya. Siapa sangka bocah tuli dan bodoh yang pernah diminta keluar dari sekolah bisa menjadi seorang jenius? Jawabnya adalah ibunya. Nancy berhasil memunculkan yang terbaik dalam diri anaknya, Thomas Alva Edison.


Bagaimana kisah seorang ibu yang mampu memotivasi putrinya? Saat usia tiga tahun Sang Putri belum bisa memegang benda apa pun. Menginjak usia tujuh tahun, kedua tangannya masih belum bisa berfungsi sempurna, bahkan memegang pensil pun tidak mampu. Kakinya pendek, hanya sebatas lutut. Dialah Hee Ah lee. Sejak lahir mempunyai kelainan bentuk tangan dan kaki yang langka. Istilah medisnya adalah ectrodactyly, dimana terdapat celah di tempat metacarpal jari seharusnya berada. Belahan ini menyebabkan tangan atau kaki memiliki penampilan seperti capit. Oleh karena itu juga dinamai “sindrom capit lobster”.

Ibu Hee Ah Lee bukan orang biasa. Ia mampu membangun sang buah hatinya. Dia adalah Woo Kap Sun. Bersama seorang guru pianonya melatih Hee Ah Lee tanpa henti. Memberi dorongan dan motivasi untuk menjadikan Hee Ah Lee seorang pianis yang luar biasa. Kesabaran dan ketekunan seorang ibu membuahkan keajaiban yang luar biasa. Walau salah satu guru pianonya mengatakan bahwa sia-sia saja latihan ini, lebih baik berhenti karena sampai kapan pun Hee Ah Lee tidak bisa memainkan piano dengan baik. Woo Kap Sun tidak menyerah dan percaya pada pandangan-pandangan negatif. Berapa kali Hee Ah Lee berganti guru piano, sampai akhirnya menemukan yang lebih sabar.

Akhirnya, seorang Hee Ah Lee dapat meluncurkan album perdananya dengan sepuluh komposisi piano permainan jarinya pada 25 Juni 2005. Ketekunan serta dorongan dari Sang Ibu membuahkan hasil. Kini siapa yang tidak kenal He Ah Lee? Berbagai penghargaan istimewa pun diraihnya.


Orangtua, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi motivator terbaik bagi anak-anak kita?




Disadur dari buku: Andalah Para Orangtua Motivator Terbaik bagi Remaja

Kamis, 14 Oktober 2010

Testimoni From Parents

Terima kasih untuk ibu Hanlie atas sharingnya, membuat saya dan suami dapat lebih melihat potensi anak=anak yang Tuhan berikan. Dicelikkan mata hati saya untuk lebih menghargai anak-anak saya sebagai pribadi yang unik dan memiliki keinginan dan kehendak pribadi. Semoga hal yang saya terima dari ibu Hanlie hari ini akan membuat perubahan dalam keluarga kami, supaya kami memiliki anak-anak yang bahagia. Karena anak-anak yang bahagia dapat meraih kesuksesan.
(Ibu Errica, mama Jessica)


Luar biasa atas rasa tanggung jawab untuk menjadikan orangtua partner dan motivator. Teruskan dan kembangkan karena ibu Hanlie adalah hadiah terindah dari Tuhan untuk memenangkan banyak keluarga bagi kemuliaan Tuhan. Materinya luar biasa.


Bagus sekali, sangat bermanfaat. Penyampaiannya begitu komunikatif. Applause buat ibu Hanlie. Semoga makin banyak orangtua yang termotivasi menjadi sahabat buat anak remajanya setelah mengikuti worksshop Ibu. Thanks a lot!


Saya seperti mendapat pencerahan pada hari ini. Waktu bersama anak-anak memang sangat berharga, dan perlu kita isi untuk lebih bermakna. Saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada ibu Hanlie yang bersedia memberikan seminar bagaimana menjadi orangtua yang efektif. Terima kasih ibu Hanlie.
(Rita, Felix mother)


Workshop haari ini mengenai parents seminar sangat bagus, dapat mengubah paradigma saya. Saya yang reaktif menjadi proaktif dalam mendidik anak saya.


Sangat baik, modern, tidak membosankan. Sangat menyentuh dan bisa mengubah mindset sebagai orangtua yang kuno dan bisa menjadi sahabat bagi anak.


Menarik, penyampaian materi rilex dan fokus. Berbobot, realistis dengan kondisi sekarang.

Terima kasih untuk ibu Hanlie. Sharing yang sangat bermanfaat. Teruskan! Banyak orangtua yang perlu penyegaran-penyegaran seperti seminar hari ini.

Saya sangat berterima kasih kepada ibu Hanlie yang telah menjadi motivator untuk saya lebih sabar lagi dalam mendidik anak-anak, karena mereka adalah anugerah terindah atau titipan Tuhan.

Stella Maris School Event, 9 October 2010, Be A Great Partner & Motivator For Your Teen








Candle Tree School Event, 2 October 2010, Be An Effective Parents








Rabu, 29 September 2010

WALK THE TALK

Apa yang terbaik orangtua dapat lakukan untuk bisa membuat perubahan dalam diri anaknya?

Akhirnya ditemukan dalam sebuah kalimat yang pernah diucapkan seorang pemimpin perubahan besar, yaitu Mahatma Gandhi: “Be the change that you want to see in the world.”


Cuplikan kehidupan Gandhi yang senada dengan apa yang dia katakan:

Suatu hari, seorang ibu membawa anaknya datang kepada Gandhi dan berkata, “Gandhi, maukah engkau menasihati anak saya ini? Dia mempunyai sebuah penyakit yang untuk kesembuhannya tidak boleh mengonsumsi garam. Tolong beri nasihat kepadanya untuk tidak makan garam. Saya dan keluarga, bahkan dokternya sudah berulang kali menasihati. Namun dia masih tetap makan garam. Saya sudah kehabisan kata-kata, tolonglah saya, siapa tahu dia akan menurutimu.”

Dengan tersenyum dan suara lembut Gandhi berkata, “Ibu, sekarang saya tidak bisa berkata apa-apa, silakan Ibu pulang dan bawa anak Ibu ke sini minggu depan.”

“Gandhi,“ kata ibu itu, “Anak saya di depanmu, tidak bisakah kamu sekarang menasihatinya?” Gandhi dengan senyum yang selalu di bibirnya hanya menggelengkan kepala yang menandakan tidak. Dengan perasaan campur aduk, ibu itu pulang.

Tepat satu minggu mereka berdua ada di hadapan Gandhi. “Saya sudah menunggu satu minggu, “kata ibu kepada Gandhi, “Sekarang berikan nasihat itu. “Kemudian Gandhi datang mendekat ke anak itu, dan menasihatinya untuk tidak makan garam. Apa yang dikatakan Gandhi tidaklah istimewa, tidak ada sesuatu yang baru, hanya sebuah nasihat yang sederhana, tidak lebih.

Pada saat itu sang Ibu merasa kecewa karena dalam penantiannya satu minggu dia berharap Gandhi akan melakukan sesuatu yang luar biasa. Tidak lama kemudian, Gandhi meminta ibu dan anak itu pulang.

Kali ini perasaan ragu-ragu menyelimuti si Ibu. Ia tidak yakin ini akan berhasil, namun yang terjadi sebaliknya. Anak ini berhenti makan garam. Ibunya berpikir mungkin ini hanya akan terjadi satu atau dua hari. Tetapi, ternyata lebih dari itu. Anak tersebut total berhenti makan garam selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.

Didorong rasa penasaran yang tinggi, seorang diri ibu ini menghadap Gandhi untuk ketiga kalinya dan langsung bertanya: “Gandhi, rahasia apa yang kamu miliki sehingga bisa membuat anak saya berhenti makan garam?” tanya si ibu. “Kata-kata yang kamu ucapkan adalah kata-kata biasa, saya sering menasihatinya dengan cara yang sama. Menurut saya, dokternya menasihati dengan cara yang lebih baik. Tetapi mengapa anak saya menurut kepadamu?”

Dengan lembut Gandhi menjawab pertanyaan ibu ini dengan jawaban: “Ibu masih ingat pada kali pertama ke sini dan saya meminta ibu datang satu minggu kemudian?”
“Ya itu dia, kenapa, terus terang saya masih penasaran?” sahut ibu dengan cepat.
“Pada saat itu saya belum bisa menasihati anak Ibu untuk tidak makan garam, karena pada saat itu saya masih mengonsumsinya. Setelah Ibu pulang, saya berhenti makan garam. Sampai kemudian ibu datang lagi, baru saya bisa berbicara untuk tidak makan garam ke anak ibu.”


Itulah kualitas seorang Gandhi. Dia hanya berbicara apa yang telah dilakukan saja, dalam istilah bahasa Inggris disebut walk the talk. Ternyata kekuatan komunikasi terbesar terletak pada hal yang tidak terlihat sama sekali, yaitu sebuah kejujuran dalam berpikir, bertindak, dan perkataan yang keluar sesuai dengan apa yang telah dikerjakan.

Kalau kita lihat sosok manusia yang diberi gelar Mahatma ini, sangatlah tidak meyakinkan. Postur tubuh kecil, berambut jarang, suara lembut, gayanya yang tenang dan kalem terkesan lemah. Namun demikian, ketika dia bicara, tidak kurang dari 400 juta rakyat India mendengar dan melakukan apa yang dia minta. Gandhi bukanlah seorang penguasa, tidak mempunyai senjata ataupun pangkat yang bisa mengancam atau menakut-nakuti orang lain. Kekuatan Gandhi berasal dari dalam, dari integritas walk the talk yang dilakoni selama hidupnya.

Orangtua, mari kita berdoa terlebih dulu jika ingin melihat anak kita berdoa. Bertingkah laku sopan ter-lebih dulu jika ingin melihat anak kita bertingkah laku yang sama. Bangun pagi terlebih dulu jika ingin anak kita bangun pagi. Sekali lagi, walk the talk.

Rabu, 22 September 2010

Mendidik Tanpa Kekerasan

Ada sebuah cara mendidik anak diajarkan melalui kisah hidup berikut ini:
 
Saat berusia 16 tahun, saya tinggal bersama orangtua di sebuah lembaga milik kakek. Tanpa tetangga, 18 mil jauh di pedalaman kota Durban, Afrika Selatan. Pergi ke kota, berkunjung ke rumah teman atau menonton bioskop menjadi hal yang menyenangkan.

Satu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkannya ke kota menghadiri konferennsi. Tentu kesempatan ini  tak akan saya lewatkan. Tahu bahwa akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Sambil menunggu, ayah juga meminta untuk memperbaiki mobil di bengkel.

Setiba di tempat konferennsi, ayah berkata, “Ayah tunggu kamu di sini jam 5 sore, lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.” Setelah menyelesaikan berbagai titipan pekerjaan, terpikir oleh saya untuk pergi ke bioskop.

Aksi film yang mengasikkan membuat saya lupa waktu. Begitu melihat jam menunjuk pk. 17.30, saya langsung berlari menuju bengkel mobil dan buru-buru menjemput ayah yang sudah menunggu. Saat itu sudah hampir pk. 18.00.

Ayah tampak gelisah menanyai saya, “Kenapa kamu terlambat?” Malu mengakui menonton bioskop, saya menjawab, ”Tadi mobilnya belum siap, saya harus menunggu.”

Tanpa diduga, ayah menelepon bengkel mobil sehingga tahu kebohongan saya. Lalu ayah berkata, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkanmu sehingga kamu tidak punya keberanian untuk menceritakan kebenaraan pada ayah. Ini sepenuhnya kesalahan ayah, biarkan ayah pulang berjalan kaki dan memikirkannya baik-baik.”

Ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah padahal hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Tidak bisa meninggalkan ayah di jalanan seperti itu, lima setengah jam saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialaminya hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.
 

Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Berpikir mengenai kejadian tersebut, saya merasa heran. Andaikan ayah menghukum sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan? Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, menyadarinya sedikit, dan akan melakukan hal yang sama lagi. Hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, saya merasa kejadian itu seolah baru terjadi kemarin, tertanam kuat dalam pikiran, membuat sadar dan tidak akan pernah mau mengulanginya lagi. Itulah kekuatan mendidik tanpa kekerasan, sebuah pola pendidikan yang sangat efektif.
 
 
Dicuplik dari ceramah Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi di Universitas Puerto Rico.

Selasa, 21 September 2010

Play is Back

Tidak heran orangtua dan pendidik jaman sekarang merasa lelah. Kita terperangkap dalam asumsi yang keliru. Kita diberitahu bahwa “lebih cepat itu lebih baik” dalam membesarkan dan mendidik anak. Kita harus mendorong anak untuk terus belajar seperti sedang berada dalam sebuah arena kompetisi yang tak pernah usai. Kita diberitahu bahwa setiap menit dari kehidupan anak harus diisi oleh hal-hal yang “bermakna”, seperti, memberikan musik klasik pada bayi dalam kandungan, memberikan flash cards kepada anak usia belum genap satu tahun, membelikan mainan edukasi semata enggan memberikan mainan sungguhan. Semua dilakukan orangtua agar anaknya memiliki kemampuan intelektual hebat, juga cepat. Anak ibarat kertas kosong yang harus dilukis indah oleh orangtua untuk kehidupan mereka kelak.

Banyak keluarga saat ini, terutama di kota besar seperti Jakarta, kedua orangtua bekerja. Banyak waktu habis di luar rumah. Kondisi ini memunculkan rasa bersalah orangtua. Orangtua ingin memastikan anak berada dalam pengasuhan terbaik. Orangtua juga didorong oleh rasa takut menghadapi masa depan yang tidak pasti. Orangtua membekali anak dengan senjata lengkap untuk menghadapi hari esok dan mengantisipasi kegagalan. Waktu anak diisi dengan banyak kegiatan terbaik menurut orangtua. Anak dijejali dengan beragam les setiap harinya. Akhirnya, anak hanya memiliki waktu luang di hari libur. Fenomena yang sudah “biasa” pada jaman ini sekaligus mengenaskan bagi anak kita.

Rasa takut, rasa bersalah menciptakan orangtua dan pendidik yang panik. Kepanikan terus menjalar dan menular sehingga membentuk asumsi yang keliru mengenai bagaimana membesarkan dan mendidik anak.


Pemujaan terhadap prestasi dan hilangnya masa kanak-kanak


Kegiatan sekolah dan jadwal les yang padat membuat anak terbeban. Anak menderita dengan tuntutan jaman. Anak Playgroup sudah dituntut untuk bisa membaca huruf dan angka. Sementara Anak Taman Kanak-kanak sudah dituntut bisa menjumlah dan membaca kalimat.

Tidak heran, banyak anak mengalami cemas, stres dan depresi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan kecemasan pada anak. Ini terjadi mungkin karena peningkatan jumlah tes akademis. Di sisi lain, harapan orangtua pada nilai akademis anak begitu tinggi. Kecemasan ini mengganggu proses belajar dan kinerja anak. Hal lain yang mencemaskan adalah kurangnya frekuensi interaksi anak dengan orangtuanya. Padahal anak merasa aman dan nyaman saat berada di dekat orangtua dan di tengah keluarga. Diduga, ini menyebabkan meningkatnya tingkat kenakalan, kriminalitas, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.

Masalah lain yang timbul karena pemujaan terhadap prestasi adalah menurunnya kuatitas kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini meliputi kemampuan pengendalian diri, keuletan, ketekunan, kemampuan memotivasi diri dan orang lain, welas asih serta empati. Itulah esensi dari karakter seseorang.

Apa yang terjadi dengan bermain? Tahun 1981, anak-anak usia sekolah memiliki 40% waktu bermain. Tahun 1997, waktu bermain menurun hingga tinggal 25%.


Bahaya kurang bermain

Apakah waktu bermain yang sedikit bermasalah bagi anak? Beberapa ahli berpendapat, kurangnya bermain menimbulkan depresi dan sikap bermusuhan dalam diri anak. Coba saja kita bayangkan, apa yang kita rasakan kalau kerja terus tanpa cuti dan liburan? Kita akan mengalami depresi juga, bukan? Anak kita juga butuh istirahat untuk mengasimilasi hal-hal yang telah dipelajari, juga untuk sekedar bersenang-senang.

Data terbaik diperoleh dari penelitian dengan sejumlah hewan. Jaak Panksepp, profesor dari Bowling Green University di Ohio menggunakan seekor tikus yang diberi dua buah perlakuan. Pertama, tikus tersebut dikondisikan kurang bermain. Apa yang terjadi pada tikus ini? Tampak terlihat efek negatif pada otak di bagian lobus frontal. Bagian otak ini adalah pusat pengendalian diri terletak. Selanjutnya, tikus tadi dibiarkan bermain. Terjadi perbaikan pada otak dengan sendirinya pada tikus yang bermain. Jadi, perkembangan otak akan menjadi lebih baik dengan bermain.


Pentingnya bermain

Umumnya orangtua memahami makna bermain meskipun terdapat fakta adanya penurunan waktu bermain yang diberikan orangtua pada anak sejak tahun 1980. Survey oleh Harvard University tahun 2000, ada 87% orangtua dari anak berusia tiga sampai lima tahun menganggap bermain adalah penting untuk perkembangan sehat pribadi anak. Orangtua bahkan tahu jenis-jenis permainan yang terbaik bagi anak.

Orangtua paham apa yang harus dilakukan, namun tidak dapat melakukannya. Orangtua takut jika mempercayai naluri membiarkan anak bermain, anak akan kehilangan waktu untuk belajar. Seorang ibu mengatakan, “Kalau anak saya biarkan hanya bermain, dia akan kehilangan waktu berharga untuk belajar. Apa rasanya kalau anak saya tertinggal dari anak-anak yang lain?”

Bermain sama saja membuang waktu adalah mitos salah yang sudah meresap dalam lingkungan berorientasi pada prestasi dan mengagungkan intelektual semata. Para peneliti di dunia sependapat, bahwa bermain menjadi pondasi yang kokoh bagi perkembangan intelektual, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, serta sebagai esensi perkembangan emosi dan kemampuan sosial. Bermain memegang kunci dalam pemenuhan hidup yang sehat bagi anak. Bermain adalah kunci kebahagiaan dan kecerdasan anak.

Jenis permainan berbeda untuk tiap usia. Orang dewasa sudah tidak bermain air di bathtub dengan bola warna warni. Begitupun anak belum mampu bermain Scrabble yang justru menarik bagi kita orang dewasa. Permainan memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda antar usia. Permainan adalah cermin perkembangan pikiran anak yang semakin kompleks seiring bertambahnya usia.


Einstein tidak pernah menggunakan flash cards

Pelajaran apa yang bisa kita lihat dari masa kanak-kanak Einstein? Sederhana, Einstein memilih jalannya sendiri. Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk bermain. Orangtua dan keluarga memberi perhatian pada minat Einstein dan mendukungnya dengan pelajaran, mainan, buku, juga kebebasan melakukan apa yang dia sukai. Einstein punya kebebasan menjadi dirinya sendiri, kebebasan menelusuri masalah yang menarik baginya. Jika orangtua Einstein tidak pernah memberikan flash cards, mengapa orangtua jaman modern punya keyakinan mereka harus mengajar anak membaca sebelum usia tiga tahun?
Empat prinsip orangtua dalam mendampingi anak

Sekarang kita sudah disadarkan bahwa keliru mendesak masa kanak-kanak dengan mengorbankan waktu bermain demi mempercepat perkembangan intelektual. Kita dapat melangkah maju dengan cara yang lebih sehat berdasarkan empat prinsip di bawah ini:

Prinsip 1: Belajar sesuai kapasitas alamiah anak

Anak butuh orangtua, pendidik, pengasuh, dan orang dewasa lain yang dapat menantang kemampuan alamiahnya. Mengapa mengajarkan ilmu roket pada anak umur tiga tahun padahal mereka belum mengerti tentang awan? Lebih baik meminta tolong anak mengambil empat buah sendok makan dan menghitungnya bersama untuk mengajari makna angka empat daripada menggunakan flash cards. Menunjukkan masalah-masalah yang bisa dilihat dan diketahui secara langsung oleh anak mendukung perkembangan kogitif anak. Berbeda bila kita meminta anak melakukan sesuatu di luar kemampuan alamiahnya, kita sedang menciptakan frustrasi, bahkan menimbulkan perasaan tidak berdaya.

Prinsip 2: Penghargaan pada proses memunculkan rasa suka belajar

Kita ingin anak menyukai proses belajar, bukan pertama terbeban oleh hasil. Lebih penting mengajak anak tahu bagaimana berpikir dan memperoleh jawaban daripada benar atau tidaknya jawaban tersebut. Coba ingat apa yang kita rasakan saat tes. Berulang kali kita menghadapi tes dan selalu cemas akan hasilnya. Kita cenderung mengajarkan anak untuk mengerjakan tes dengan baik, bukan bagaimana berpikir dengan baik. Selanjutnya mereka akan menjadi pelajar yang penuh rasa takut. Penekanan pertama pada proses belajar daripada hasilnya akan membantu menciptakan kecintaan anak untuk belajar.

Prinsip 3: Kecerdasan emosi, tidak hanya intelektual

Ada hal lain yang penting selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi. Penting bagi anak untuk meraih prestasi akademis di sekolah, namun ini belum cukup. Kecerdasan emosi tidak kalah penting. Hubungan antara kecerdasan emosi dan keberhasilan akademis di kelas sudah bisa dilihat sejak Taman Kanak-kanak. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang mudah berteman dan diterima oleh lingkungannya mampu mandiri dan berprestasi secara akademis. Kecerdasan emosi dan intelektual adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam perkembangan anak.

Salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan perkembangan intelektual dan emosi adalah permainan sosial. Permainan sosial memiliki keuntungan bagi perkembangan emosi, kognitif dan meningkatkan kemampuan sosial. Dalam permainan sosial ini anak mengeksplorasi banyak hal, di antaranya mengembangkan kemampuan kerjasama kelompok, solidaritas, negosiasi, belajar menerima kemenangan dan kekalahan dengan sportif, serta membuat, menyepakati dan menjalani aturan sosial. Beberapa permainan sosial yang sudah kita kenal adalah petak umpat, galasin, benteng, lompat karet, engklek.

Prinsip 4: Belajar dalam konteks bermain adalah guru terbaik

Peran orangtua dan pendidik adalah membawa anak belajar dalam konteks. Anak bisa bermain menjadi dokter, bermain Barbie dengan miniatur peralatan rumah tangga yang lengkap. Bermain adalah arena dimana anak bisa mencoba apa saja tanpa ada konsekuensi bagi kehidupan nyata karena semua hanya bermain peran. Belajar dalam konteks bermain membawa anak pada dunianya dimana memberikan ruang bagi imajinasinya untuk berkembang. Anak merasa dunia berada dalam kendalinya sehingga belajar menjadi benar-benar bermakna.


***

Membaca uraian di atas, kita paham bahwa mitos "lebih cepat itu lebih baik" dalam membesarkan dan mendidik adalah mitos yang perlu ditinjau kembali. Sekarang kita dapat menyatakan BERMAIN = BELAJAR. Bermain adalah kunci kebahagiaan dan kecerdasan anak. Anak yang memiliki banyak waktu bermain menjadi lebih bahagia. Anak yang lebih bahagia mampu menjalin relasi lebih baik dengan teman-teman sebayanya dan lebih bisa menaruh perhatian pada pelajaran di kelas. Mereka menjadi lebih baik di sekolah. Kecerdasan intelektual dan emosi terbukti dapat berkembang melalui bermain. Bermain memegang peranan penting dalam pemenuhan hidup yang sehat bagi anak.

Anak memerlukan kedekatan emosi dengan orangtuanya. Hubungan anak dan orangtua yang terpelihara baik mendorong perkembangan intelektual dan emosi yang sehat pada anak. Jika orangtua Einstein tidak pernah memberikan flash cards, mengapa kita harus?



Adaptasi dari: Buku Einstein Never Used Flash Cards.
Oleh: Hanlie Muliani, M. Psi
Email: hanlie.muliani17@gmail.com