Senin, 22 November 2010

Tekanan Stimulasi Anak Pemanjat Gunung oleh Krishnamurti

http://mindsetmotivator.com/2008/04/05/tip-praktis-nlp30-for-parenting-tekanan-“-stimulasi-anak-pemanjat-gunung-”/



Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan yang sangat diperlukan seorang anak manusia untuk mengatasi masalah atau kesulitan agar bisa berhasil dalam kehidupan ini, selain kemampuan lainnya seperti IQ, EQ atau SQ), demikian penelitian ahli Paul G. Stoltz, Ph.D.

Stoltz menyampaikan hal ini, karena ada orang yang OTAK ENCER (memiliki IQ di atas rata-rata), MULUT LEMEH (memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik), FRIENDLY juga penyesuaian dirinya baik, tapi kurang mampu menghadapi masalah-masalah yang menghadang. Pada akhirnya ia gagal mencapai apa yang menjadi tujuannya. Malah banyak yang jadi tukang gossip he..he..

Stoltz meneliti ada 3 tipe anak sehubungan dengan kemampuan mengatasi masalah tersebut, yang dia umpamakan seperti orang yang mendaki gunung.
  1. Tipe QUITTERS (mereka yang berhenti dan menyerah)
Adalah anak yang bila sedang mendaki gunung, akan memilih berada di tempat yang paling bawah. Pendaki gunung tipe ini:
- Biasanya memilih tempat cukup di kaki gunung dan biasanya memilih dekat sungai dan banyak warung he..he..)
- Biasanya sibuk ber-foto ria dengan latar belakang gunung yang indah, tinggi dan lengkap karena gunungnya masih jauh he..he..
- “Mana bisa motret gunung kalo di puncak gunung, bukan?” demikian celoteh canda mereka.
- Biasanya berusaha menjauh dari permasalahan, rasa takut dan kuatir lebih kuat dari rasa keinginan bertindak (action).
- Saat melihat atau menghadapi kesulitan, ia akan memilih mundur, dan tidak berani menghadapi permasalahan.

2. Tipe CAMPERS (mereka yang berkemah)

Adalah anak yang belum mencapai puncak gunung tapi sudah merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya saat ini. Ia tak mau mendaki lebih tinggi karena risiko yang terlalu besar. Pendaki gunung tipe ini:
- Biasanya lebih menyiapkan diri untuk jalan aman kembali turun dari pada memikirkan bagaimana strategi naik ke puncang gunung.
- Biasanya mencari tempat yang cukup aman dan nyaman. “Ah, paling tidak aku bisa berkemah dengan selonjor kaki. Dari pada tidur dalam posisi jongkok di atas gunung” demikian imajinasi “aman” mereka.
- Biasanya cepat puas atau selalu merasa cukup berada di posisi tengah.
- “Tujuan aku camping kok, bukan mendaki puncak gunung. Ngapain juga nyusahin diri” demikian pembelaan diri mereka.
- Biasanya mengabaikan kemungkinan, peluang atau kesempatan baru yang bisa didapat, bila melangkah lebih tinggi dan lebih jauh.

3. Tipe CLIMBERS (mereka sang Pendaki Gunung sejati)

Adalah anak yang mempunyai tujuan, punya impian, punya target atau sasaran, atau paling tidak sudah punya sesuatu yang ingin diwujudkan. Dan, untuk merealisasikan ide itu, mereka memiliki kemauan dan mampu mengusahakan dengan ulet, tekun dan gigih. Mereka:
- Memiliki rasa ingin tahu atau rasa “Penasaran” yang besar. “Wah, pasti seru nih!” demikian kira-kira mindset dalam benak mereka.
- Memiliki rasa percaya diri yang besar. “Paling tidak, aku sudah usaha yang maksimal dan aku punya pengalaman baru (bukan kegagalan)”
- Memiliki keberanian menghadapi sesuatu yang baru. “Anything is POSSIBLE. Gimana bisa tahu, kalo nggak mencoba” tentu dalam konteks positip ya…
- Memiliki disiplin yang tinggi. “Aku harus selesaikan apa yang telah aku mulai” demikian tekad dalam diri mereka.
- Tipe inilah yang tergolong memiliki AQ yang baik.

Nah, apakah kecerdasan mengatasi masalah ini bisa dihasilkan tiba-tiba atau instant? Tentu saja jawabanya TIDAK. Harus ada PROSES yang dilalui. Harus ada LATIHAN dengan disiplin yang baik. Dan juga, harus ada UJIAN-nya. Kalau tidak, kita tidak pernah tahu kita berada di kelas berapa, bukan?
Apakah bisa dipercepat proses melatih AQ ini? Tentu, peluang mempercepat proses ini makin besar sejak ditemukannya NLP. Banyak sekali teknik-teknik NLP yang mendukung hal ini. Kebetulan, saya punya beberapa pengalaman tentang hal ini saat dipercaya membantu para atlet PASI Jatim pada PON di Palembang beberapa tahun lalu.

Baiklah berikut ini beberapa ide dan tip praktis NLP ala saya, yang semoga saja bisa berhikmah untuk Anda sebagai orang tua dalam melatih anak-anak Anda menjadi anak Tangguh atau lebih tangguh dari sebelumnya.
Dasarnya sederhana saja karena Allah sudah memberikan kita alat bantu agar kita bisa lebih mudah mengeksplorasi dunia, maka gunakan saja alat bantu itu yakni alat indra kita: Mata, Telinga dan alat Perasa. Dalam NLP dikenal istilah V.A.K (Visual, Audiotori dan Kinestetik)
Artinya dalam menstimulasi atau melatih “mental” anak-anak untuk menjadi tangguh, usahakan dan libatkan ke 3 unsur tersebut agar dapat terekam dengan baik oleh mereka yang akan menjadi pengalamandi kehidupan mereka di masa mendatang.

Beberapa cara “Kampoeng” yang dianggap kuno tapi menurut NLP ala saya adalah NLP yang luar biasa, khususnya untuk menstimulasi anak-anak yakni:

Dongeng
Ah, mendongeng adalah metode yang luar biasa dampaknya. Masih tersimpan dengan sangat baik di otak saya, bagaimana Tante saya yang kami panggil “Engkim Luluk” mendongeng dengan mimik semangat di depan kami tiga bersaudara yang duduk kursi panjang beranda rumah, sore menjelang malam hari, sekitar tahun 1970an. Ehm, dongeng betapa cerdiknya Sang Kancil dalam menghadapi tantangan serigala. Ternyata Gambar Kancil terekam dengan sangat kuat di benak saya sampai saat ini, karena ternyata otak kita menyimpan GAMBAR KANCIL bukan huruf “K A N C I L” bukan?
Nah, mendongengkan sendiri pesan akhlak, pesan nilai-nilai atau pesan mental yang ingin Anda tanamkan kepada jiwa anak Anda, tentu sangatlah baik. Anad hanya perlu melatih diri untuk melibatkan seluruh indra Anda saat bercerita. Jadilah si Kancil dengan gerakan, suara dan rasa percaya diri yang besar karena cerdik.
Untuk dongeng monyet yang lincah, Anda tentu perlu belajar jadi monyet. Bukan? He..he.. Baik juga pergi ke Ubud Bali dan belajar dengan “saudara” tertua kita di Monkey Forest… kebetulan saya sedang berada disini saat menulis artikel ini dan memang sedang belajar dengan mereka he..he..

Bermain
Beberapa permainan “Kampoeng” menurut observasi saya, sungguhlah sangatlah efektif dalam melatih ketangguhan anak-anak. Misalnya:

Permainan Lompat Karet
Umumnya dimainkan oleh anak-anak perempuan. Selain melatih kelenturan fisik, juga melatih diri untuk tetap TENANG saat menghapi tekanan. Karena biasanya pihak yang mendapat giliran memutar karet akan mempercepat putarannya, jika pihak pelompat karet bisa terus mengatasi tingkat tantangan yang diberikan. Misal: batas dengkul, batas paha, batas pinggan, batas pundak, batas kepala dan batas kepala plus satu jengkal tangan atau disebut batas “MERDEKA!!!”

Permainan Kelereng
Dengan beberapa kombinasi tantangan atau tingkat kesulitan tertentu, membuat anak-anak harus meningkatkan kemampuannya, kalau tidak akan kalah. Nah, saat kalahpun ini adalah latihan yang baik untuk anak-anak dalam mengatasi rasa kalah. Memilih menyerah atau malahan makin giat berlatih?
Dalam pengalaman saya bermain kelereng saat masih kecil, sering kali kita berhadapan dengan situasi yang sulit untuk “menembak” kelereng yang dituju. Semakin terlatih, semakin mudah kita menghadapi situasi sulit tersebut. Saat bisa mengatasi situasi sulit itu, tersimpan rasa bangga dalam diri ini. “Yes, I CAN Do It!” bukan kelerengnya…

Nah, selanjutnya silahkan Anda kembangkan sendiri nilai-nilai atau sikap mental apa yang Anda ingin tanamkan ke anak-anak Anda, berikut ini beberapa ide saja yang semoga menjadi referensi hikmah.

Misal: kita ingin mengajarkan “KETEKUNAN

MERAJUT: Anda bisa mencontohkan (visual) bagaimana nikmatnya (rasa) membuat rajutan. Lamanya waktu proses pembuatan bisa menjadi pelajaran akan ketekunan, juga kesabaran.

MEMBATIK: merupakan contoh yang luar biasa dan sangat mengagumkan akan makna ketekunan dan kesabaran. Selain manfaat untuk pelestarian budaya. Biaya pelatihan jadi murah, peralatanpun sekarang Anda bisa peroleh dengan mudah ditoko-toko batik di kota-kota besar Jawa Tengah.

Contoh menstimulasi: MENYERANG & BERTAHAN

CATUR adalah pilihan yang baik dalam menstimulasi anak-anak untuk memiliki mental kapan harus menyerang, kapan harus bertahan. Karena ada giliran bermain menyerang dengan bidak putih dan bermain bertahan dengan bidak hitam. Permainan ini menjadi salah satu kegemaran saya sejak saya SD dan salah seorang teman yang berjasa untuk hal ini adalah teman SD saya bernama Parlin Hasibuan yang dengan telaten mengajarkan saya bermain catur sampai kami berpisah setamat SMP.

Contoh menstimulasi: KETANGGUHAN & “PAIN TOLERANCE

OLAHRAGA adalah pilihan terbaik untuk melatih ketangguhan anak-anak, karena ada saat-saat mereka harus melawan rasa sakit dan ini sangat penting kekuatan mereka di masa depan, sehingga mereka akan memiliki toleransi yang tinggi terhadap rasa sakit yang mungkin saja semakin meningkat dengan tantangan yang lebih berat. Bukankah sebuah hal yang mustahil otot yang kekuatan angkat bebannya hanya 20 kg, bisa mengangkat beban yang beratnya 50 kg, bukan? Tentu, diperlukan otot dengan kekuatan angkat minimal 50 kg juga.

RENANG dengan satu gaya yang monoton adalah sarana latihan mental yang baik, misal berenang dengan gaya dada selama 2 jam. Bukan renang dengan kecepatan. Atur saja, sesuai kebutuhan. Jika tekanan yang ingin Anda ciptakan, tentu lomba renang dengan kecepatan adalah pilihan stimulasi yang baik. Jika daya tahan, tentu lama waktu yang jadi pilihan.

BERSEPEDA juga merupakan cara yang kreatif untuk menstimulasi anak-anak akan kemampuan toleransi mengatasi rasa sakit, khususnya perjalanan yang menantang seperti ke gunung atau mountain bike.

MARATON adalah pilihan yang paling praktis dan murah tentunya, selain bisa dilakukan kapan saja, juga bisa kapan saja. Lama waktu (bukan kecepatan) adalah stimulasi yang sangat baik untuk daya tahan, khususnya ketangguhan dan membuat strategi di dalam diri untuk terus melangkah sampai tiba di tujuan.
Maraton berbeda dengan olah raga lain, karena dalam pengalaman saya sejak SD yang hamper setiap minggu pagi marathon dengan teman-teman, saya selalu berhasil mengatasi suara dalam diri saya (self talk) untuk menyerah. Saya selalu katakana: “Krishna terus, terus dan terus lari sampai FINISH. Paling pingsan, gak mungkin mati kok”

Ingat sobatku, berjuang menggapai impian tidak akan membuat Anda mati. Jikapun Anda mati, maka Anda akan mati dengan kemenangan.

Krishnamurti

Senin, 15 November 2010

Mengenali Gaya Belajar Memacu Anak Melejitkan Prestasi - Part 3

Keunikan Gaya Belajar Individu




Seperti yang sudah kita ketahui, penyerapan informasi sangat bergantung pada cara orang mengusahakannya, dan hal itu memiliki konsekuensi yang luas terhadap keberhasilan mereka dalam pembelajaran dan pelatihan. Dengan memberikan instruksi kepada anak dan para siswa melalui kekuatan gaya belajar, akan terlihat suatu perubahan sikap yang cepat dan tingkat kegagalan di sekolah turun secara efektif bahkan sampai ke titik nol. Pengaruhnya langsung bisa kita lihat terutama para siswa yang berprestasi rendah, karena wawasan tentang kemampuan belajar mereka menghasilkan perbaikan kinerja di kelas ketika mereka mulai mengerti gaya belajar mereka sendiri. Penelitian yang mendukung pernyataan ini bisa ditelusuri ke belakang lebih dari dua puluh tahun terakhir di Amerika, dan berkembang pesat ke seluruh dunia.

Di antara semua unsur yang membentuk gaya belajar seseorang secara keseluruhan, ada empat dari enam indra ( melihat, mendengar, menyentuh, dan merasa) yang paling mempengaruhi penyerapan informasi, ingatan, dan proses belajar. Jika diterjemahkan ke dalam istilah teknis, keempat indra itu bisa digambarkan sebagai modalitas indrawi atau preferensi perseptual visual, auditori, taktil dan kinestetik.

Pusat-pusat untuk memproses informasi indrawi tersebar di seluruh otak dan berkembang dengan kecepatannya sendiri pada setiap manusia. Anak-anak untuk pertama kalinya mulai belajar dan mengingat hal-hal sulit dengan mengalamninya langsung secara kinestetik (K), yang artinya butuh melibatkan seluruh tubuh ketika menyerap informasi dan mendapatkan ketrampilan dasar. Modalitas kedua yang berkembang adalah taktil (T), itulah sebabnya anak-anak kecil harus menyentuh apa saja yang menarik minat. Mereka belajar dengan menggarap serta berinteraksi dengan benda dan orang. Sekitar usia delapan tahun, sebagian anak mulai mengembangkan preferensi visual yang kuat (V), yang memungkinkan mereka menyerap informasi dengan cara mengamati dan melihat apa yang berlangsung di sekeliling mereka. Melihat menjadi alat belajar yang sangat penting. Kira-kira usia sebelas tahun, banyak yang mulai lebih bersifat auditori (A), artinya mereka mulai bisa belajar dengan baik terutama dengan mendengarkan dan dengan mudah mengingat informasi kompleks yang didengar.

Ternyata, mayoritas anak usia sekolah tetap bersifat kinestetik/taktil selama bertahun-tahun di sekolah dasar, dan jumlah siswa yang sangat auditori atau visual jauh lebih sedikit daripada yang dibayangkan para guru. Penelitian dilakukan di Selandia Baru dan ditemukan hasil yang sama (mulai dari kalangan eksekutif, para manajer dan pekerja, sampai siswa-siswa politeknik, universitas, atau sekolah bisnis). Bukti ini diperoleh dari banyaknya orang yang mendaftar untuk menggunakan instrument Working Style Analysis (WSA, Analisis Gaya Bekerja).  Sedangkan instrumen yang digunakan untuk melihat preferensi gaya belajar seseorang menggunakan Learning Style Analysis (LSA, Analisis Gaya Belajar).

Mereka yang analisis visual (orang-orang dengan gaya berpikir otak kiri, berurutan dan reflektif) agaknya mampu mengingat kata-kata dan angka-angka dengan lebih baik. Sedangkan rekannya yang holistis visual (orang-orang dengan gaya berpikir otak-kanan, kreatif, dan acak) cenderung lebih baik dalam mengingat gambar, ilustrasi, grafik, dan simbol.

Ketika anak-anak dan orang dewasa tidak mengingat sebagian besar yang mereka dengar dan lihat, lalu bagaimana cara mereka mengingat? Mereka mengingat dengan cara menyentuh, merasakan, menangani, dan/atau mengotak-atik sesuatu. Ini semua adalah ciri-ciri pelajar taktil (T), yang merupakan porsi terbesar anak-anak di Selandia Baru. Selain itu, ditemukan bahwa proses penyerapan informasi melalui tangan adalah gaya yang lebih disukai oleh lebih dari 30 persen pelajar dewasa.

Kelompok besar lainnya adalah pelajar kinestetik (K). Mereka yang butuh mengalami langsung apa yang mereka pelajari. Mayoritas anak kecil, dan banyak lagi siswa serta orang dewasa, mampu belajar dan mengingat dengan cara yang apling efektif ketika melakukan sesuatu, bermain, mengadakan perjalanan, membangun sesuatu, memasak, membuat, mengalami, mengunjungi, bertemu, dan berinteraksi dengan orang lain. Mereka mampu belajar dan mengingat dengan sangat mudah juga baik melalui kegiatan yang melibatkan seluruh tubuh.

*****
Pengetahuan tentang kisaran preferensi penyerapan informasi, pentingnya modalitas, dan seberapa kuat modalitas itu pada setiap individu akan membantu orang tua untuk memahami kebutuhan belajar sejati anak-anak mereka. Mengenali gaya belajar memacu anak melejitkan prestasinya.

“Setiap orang BISA belajar, tetapi setiap orang belajar dengan cara yang berbeda”




Sumber: The Power of Learning Styles

Kamis, 11 November 2010

Mengenali Gaya Belajar Memacu Anak Melejitkan Prestasi - Part 2

Model Sukses Yang Baru, Belajar Dengan Gaya Sendiri

Semua orang dalam segala usia dapat benar-benar mempelajari apapun apabila dibiarkan melakukannya dengan gaya unik yang sesuai dengan kekuatan pribadi mereka sendiri. Mereka akan lebih mampu menampilkan kinerja yang konsisten apabila kondisi bekerjanya sesuai dengan preferensi gaya individual mereka.

Penelitian selama 25 tahun terakhir, terutama yang dilakukan St. John's University di New York, membuktikan bahwa manusia mampu mempelajari materi subyek apa pun dengan berhasil apabila metode instruksi yang digunakan sesuai dengan preferensi pembelajaran individual mereka. Apabila keragaman manusia dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses belajar, dalam situasi pelatihan atau dalam penguasaan keterampilan, hasilnya selalu positif. Pelajar merasa senang, memperoleh sensasi keberhasilan meraih sesuatu tanpa frustrasi dan stres, mengalami peningkatan motivasi, dan selalu bisa mengendalikan proses belajar.

Menurut Dr. Rita dan Dr. Kenneth Dunn, dua peneliti utama dalam bidang ini, gaya belajar adalah cara manusia mulai berkonsentrasi, menyerap, memproses, dan menampung informasi yang baru dan sulit.

Setelah meneliti tentang alasan para murid benar-benar mendapat masalah dalam belajar, dan banyak orang merasa sangat sulit untuk mempertahankan kinerja, kini menjadi jelas bahwa rahasia sukses dalam belajar terletak pada pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri, gaya, potensi, dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan. Manfaat terbesar dari seluruh aspek pengenalan diri akan tampak jelas bukan hanya dalam bidang pembelajaran, pengajaran, dan pengkajian, melainkan juga dalam kehidupan pribadi dan profesional seseorang.

Apabila orang dibiarkan belajar dan bekerja dengan gaya mereka sendiri, dan menemukan lingkungan yang sesuai dengan kegiatan-kegiatan mereka, tidak ada batasan untuk pencapaian manusia. Mereka benar-benar mampu melakukannya dengan tingkat stres yang jauh lebih kecil dan kegembiraan yang jauh lebih besar.

Hal ini akan menimbulkan sikap yang lebih baik terhadap pembelajaran dalam suatu kelompok besar murid yang tidak dapat belajar baik dengan metode pengajaran tradisional, yang membuat mereka percaya bahwa mereka memang bodoh dan sering kehilangan gairah untuk belajar seumur hidup. Namun, apabila mereka didorong untuk belajar dengan cara mereka sendiri, dengan memanfaatkan preferensi gaya mereka yang unik, biasanya mereka menjadi sangat bergairah menyelesaikan tugas-tugas belajar mereka dan benar-benar menjadi suka belajar seumur hidup.

Semua orang juga menjadi lebih efektif dalam hubungan interpersonal karena pemahaman mereka terhadap keragaman manusia memberi sarana baru yang lebih baik untuk lebih sukses dalam berinteraksi.

Ketika manusia mengenal potensi mereka, gaya unik mereka, dan cara mereka menyerap informasi secara efektif, dengan sendirinya mereka akan mencapai tujuan sebagai suatu spesies menjadi pembelajar seumur hidup yang sukses dengan gaya mereka sendiri.

To be continue...





Sumber: The Power of Learning Styles

Rabu, 10 November 2010

Mengenali Gaya Belajar Memacu Anak Melejitkan Prestasi - Part 1

Tugas Mustahil Membuat Semua Orang Senang Belajar?


Praktek pendidikan tradisional yang sangat menekankan pada kemampuan matematika dan bahasa serta penyampaian formal yang kebanyakan menggunakan metode pengajaran otak kiri yang analitis, kurang memberi ruang bagi kebanyakan pelajar untuk mengembangkan keterampilan hidup dan kemampuan belajar agar bisa bertahan dengan mudah dalam dunia kita yang cepat berubah.

Para murid tidak dapat memahami diri mereka sebagai pelajar, apa yang sedang terjadi pada diri mereka, atau mengapa mereka tidak mampu mencapai nilai yang cukup bagus selama bertahun-tahun di sekolah. Akibatnya, penghargaan diri dan motivasi mereka menurun secara drastis.

Pernyataan bahwa semua orang bisa belajar, bahwa pendidikan umum adalah perusakan mental secara massal dan malah menimbulkan kesulitan belajar, bukanlah hal yang baru. Jumlah siswa yang berprestasi rendah di sekolah terus meningkat. Kesulitan belajar sudah menjadi fakta kehidupan. Motivasi belajar semakin menurun ketika para pelajar semakin lama berada dalam sistem pendidikan. Hampir semua orang senang saat masa sekolah berakhir, bahkan banyak dari mereka yang berhasil meraih gelar pendidikan merasa bahwa belajar itu memang sulit dan membuat frustrasi.

Kenangan indah saat belajar di sekolah adalah sesuatu yang langka. Penyerapan pengetahuan dalam benak kebanyakan orang seolah-olah berhenti selepas sekolah. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila pembelajaran seumur hidup tidak menjadi bagian dari tataran pikiran kita. Meski demikian, kebanyakan orang justru lebih menghargai pembelajaran yang dialami dalam kehidupan "nyata". Sejalan dengan berlalunya tahun demi tahun, biasanya mereka semakin menguasai proses belajar ini dan bahkan menikmatinya! Namun, begitu mereka harus kembali masuk ke dalam situasi pelatihan tradisional atau yang lebih buruk lagi pembelajaran formal, dalam diri mereka akan terbentuk perasaan-perasaan negatif. Perasaan-perasaan yang dulu pernah mereka alami ketika belajar di sekolah yaitu kecemasan, frustrasi, kebosanan, ketegangan, penurunan motivasi.

Meski demikian, mengingat hakikatnya otak manusia, sudah jelas bahwa fungsi utama otak manusia adalah untuk belajar dan bahwa manusia mampu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka.

Lagi pula, dengan kekuatan otak yang menakjubkan pada semua manusia, pembelajaran seperti halnya pengkajian dan penyerapan informasi seharusnya menyenangkan, sangat mudah, tanpa ketegangan, dan memberikan kesan mendalam yang tahan lama.

Apabila semua itu benar, mengapa begitu banyak orang mengalami kesulitan belajar, memiliki ingatan buruk, bermasalah dalam konsentrasi, dan merasakan ketegangan saat ingin menyerap informasi atau menguasai keterampilan tertentu?

Jawabannya ternyata sangat sederhana dan realistis. Sulit dipercaya, di balik semua ini, kunci keberhasilan dalam belajar dan bekerja adalah mengetahui gaya belajar atau bekerja yang unik dari setiap orang. Menerima kekuatan sekaligus kelemahan diri sendiri, dan sebanyak mungkin menyesuaikan preferensi pribadi dalam setiap situasi pembelajaran, pengkajian maupun pekerjaan.

To be continue...




Sumber: The Power of Learning Styles

Senin, 01 November 2010

Bahaya video games bagi anak

Kecanduan bermain video games bisa berpengaruh negatif, terutama pada perkembangan anak

Follow this link:
http://kosmo.vivanews.com/news/read/186210-bahaya-video-games-bagi-anak